right_side

Empati Demi Surgawi

Satu Miliar Cinta

My Book.

Pengikut

My Book Cover

My Book Cover

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

Cursor

One Piece Going Merry

Widget


Jumat, 26 Februari 2016

Ngomong Ayam Katanya


Sore yang riuh pada sebuah kota yang menjadi barometer kesuksesan seperti utara untuk mata angin. Jakarta. Sekumpulan orang lebih dari lima puluh sedang berkumpul dalam ruangan dan mendiskusikan sebuah teather. Oh..., mereka berteather untuk teather orang lain. Barangkali penguasanya. Barangkali pejabat yang pandai memakai topeng. Atau barangkali cecurut yang mengais-ngais sisa makanan dan apa saja di tiap sudut kota yang dijadikan tong sampah, meski sangat tidak tepat dikatakan seperti itu karena saking banyaknya sampah yang luber sampai ke jalan. Ya, cecurut dan kawanannya sungguh kelihatan makmur hidup di kota besar itu sehingga tubuhnya pun gemuk-menggemuk.
Palsu! Palsu! Itu tuh palsu...!” teriak salah seorang di antara mereka.
Seorang lain melanjutkan. Bahkan dengan mimik yang sangat sesuai dengan tokoh yang dia mainkan. Setelah dia selesai dilanjutkan lagi dengan temannya.
Jaran! Jare jaran...!” seorang gadis memeragakan perannya dan diperhatikan semua orang di dalam ruangan itu. Lagaknya mantap layaknya seorang ibu-ibu dengan emosi yang tertindas oleh keadaan ekonomi sehingga setiap omongannya asal loncat seperti kuda liar. Dan peran gadis itu nampaknya menjadi ibu-ibu yang kasar, menantang dan tak urus.
Di luar gedung, kendaraan sambung menyambung. Klakson kopaja yang menyemprot angkot di depannya terdengar lantang. Umpatan pejalan kaki yang hampir diserempet pengendara motor di trotoar. Dan umpatan-umpatan kasar yang dipakai untuk candaan oleh sekumpulan pengamen di ujung gang, turut ambil peran dalam komposisi kelengkapan kota besar.
Latihan teather itu berlanjut. Om instruktur atau barangkali dia juga yang menjadi kepala utama dalam teather itu memotong latihan dan sedikit memberikan koreksi supaya teather yang akan dibawakan tidak melenceng dari tujuan utama. Rambut pendeknya yang sudah abu-abu lepek bercampur sisa air wudhu. Kulit wajah dan tangannya yang sudah mulai keriput dan kering tidak begitu terlihat dari kejauhan. Kondisi yang hampir sama juga terlihat pada seorang perempuan yang duduk tak jauh dari om instruktur. Hanya rambutnya lebih hitam dari Om instruktur.
Burung! Tahu burung? Burung yang hinggap di cantolan. Yang cantolannya tidak kuat dibuat sebagai pegangannya,” salah seorang memainkan perannya dengan begitu antusias. Suaranya keras dan lantang hingga terdengar dari luar ruangan.
Seorang pedagang minuman tak jauh dari ruangan itu seketika melirik ke dalam ruangan, penasaran.
“Ada apa?” tanya tukang ojek yang mampir meminjam korek api.
“Mungkin latihan.”
“Hmm...” jawab tukang ojek dengan rokok yang masih menyumpal di mulutnya. Kemudian tanpa mengucapkan terima kasih ditaruhnya korek api di atas box minuman. Si pedagang minuman mengambil dan memasukkannya kembali ke dalam kantong.
Monolog dan peran terakhir telah dimainkan. Om instruktur merasa cukup dengan latihan sore itu. Beberapa pemain berkasak-kusuk dengan koreksi yang diberikan selama latihan. Pikiran mereka nampaknya agak bingung dengan perannya nanti malam.
“Kali ini pertunjukkan yang akan kita bawakan sedikit berbeda. Saya harap kalian bisa membawakannya dengan yakin. Ini bukan teather. Jadikan peran itu adalah diri kalian sendiri,” kata om instruktur mengakhiri.
Latihan teather untuk teather itu pun diakhiri.
***
Malam dihempaskan keriuhan kendaraan dan pedagang-pedagang di sepanjang jalan Cikini Raya. Lentera-lentera yang dipasang sepanjang jalan menuju panggung utama telah dinyalakan. Pelataran parkir Taman Ismail marzuki kembali dipenuhi mobil-mobil manusia-manusia penyuka seni dan pegiat seni.
Semua pemain sudah berbaris. Instruksi terakhir diingatkan kembali oleh Om instruktur. Pakaian mereka kini serempak berwarna kuning. Dengan tali temali yang mengikat kaki kanan dan kiri, tangan di kanan dan kiri pula dan di badan mereka. Entah apa maksudnya. Wajah-wajah mereka memakai topeng sehingga muka dan identitas yang menempel di wajah mereka jadi abu-abu, menjadi tersamarkan. Ahh..., memang seperti itu tujuan teather. Pemain harus menjadi orang lain yang berada di luar dirinya. Sekaligus menjadikan orang lain yang berada di luar dirinya menyatu bersama dirinya yang men-diri.
Rombongan teather itu berjalan. Alunan musik dari kendang kompang, bonang, gong dan kecik racik-meracik dalam keramaian rombongan. Lelakon telah dipentaskan. Seketika itu juga para pedagang, pejalan kaki, pengunjung yang kebetulan berpapasan dan pelanggan warung-warung pinggir jalan menaruh perhatian pada gerombolan berbusana kuning dengan tali ikat-mengikat itu.
Jaman saiki jamane fafitnah-fitnah. Dadi..., baka ana deleng ya kudu dideleng. Baka ana rungu ya kudu dirungu. Baka ana kang mumplu ya..., kudu didulit.”
Seorang pemain memulai perannya dengan mantap. Semua telinga yang menyaksikan dipertajam untuk menangkap apa yang akan dibicarakan dalam peran-peran mereka.
 Sapa-sapa kang lagi ning duwur kudu bisa andap asor!”
Satu-persatu peran dimainkan dan penonton di pinggiran jalan itu semakin banyak. Ada yang ikut duduk santai di samping kerumunan pemain. Ada yang mencoba mengabadikan pertunjukan singkat itu dengan kamera di ponsel layar sentuh. Ada pula yang merasa sejenak bisa lepas dari kepenatan sepanjang hari dengan adanya pertunjukkan itu.

Baka bukae baka-baka, bukue baka baku. Baka baku buka, bakae..., hiiiii” seorang pemain merasa ngeri dengan apa yang dimainkannya sendiri. “Baka baku buka, bakae..., bakae..., bakae buka-buka pupue.
Hah???” seorang pemain lagi melotot pada lelaki yang baru saja bermonolog. “Buka-buka pupue? Buka-buka pupue?”
Monolog demi monolog sambung menyambung menyampaikan pesannya melalui telinga-telinga awam. Dengan do’a yang terselip dalam tiap monolog, barangkali ada di antara yang menyaksikan seseorang yang bisa menyambungkan pesan itu. Meski entah untuk sesiapa.
Kurang dari satu jam kemudian mereka kembali berjalan. Sebagian pengunjung yang menyaksikan lakon itu masih bertanya-tanya dan mencoba mencerna apa yang baru saja ia saksikan di depan matanya. Sebagian lain masa bodoh dengan yang baru saja terjadi. Sebagian lagi membuntuti rombongan itu menuju panggung utama festival seni di Taman Ismail Marzuki.
Riuh rendah suara musik dan sahut menyahut dari mereka terus terdengar dari kejauhan. Hingga sampailah mereka di panggung utama. Kedatangan mereka menggantikan pementasan musik tradisional di atas panggung. Semua mata pengunjung merasa disajikan sesuatu yang sedikit berbeda.
Seketika musik berhenti. Hanya bunyi kening yang membumbui adegan teather. Seorang pemain menaiki panggung dan bermonolog. Disambung yang lainnya.
Berteriak lantang. Membentak. Membusungkan dada. Menuding-nuding dengan begitu sengaknya. Tak peduli siapa yang melihat, siapa yang mendengar atau siapa pula yang akan memikirkannya lebih jauh.
Sabar ikuh langit! Langit ikuh langsing lan legit!
Huru-hara dalam teather semakin gaduh. Semua pemain menampilkan perannya total. Mereka sampaikan apa yang harus mereka sampaikan. Mereka perankan siapa yang harus mereka perankan. Suasana semakin hening ketika salah seorang bermonolog begitu lantang.
Asstaghfirullohal’adzim.... kula nyuwun agungipun pangapura.... Wong edan! Wong eddaaaaan! Ari wong edan kuh bli waras...,” salah satu monolog penutup teather itupun dimainkan. Lelakon telah selesai. Pesan mereka telah disampaikan meski entah melalui siapa dan untuk sesiapa.
Kemudian mereka kembali berbaris berjalan menjauhi panggung. Meninggalkan penyamaran dengan topeng diantara penonton.
Barangkali memang tak perlu memastikan apakah sebuah pesan sampai pada yang tertuju. Barangkali memang cukup susah memainkan teather untuk sebuah teather. Apalagi ini hanya sebuah ngomong ayam.
***

Untuk sebuah kebersamaan di tempo hari.
Guanyin, 24 Februari 2016



Catatan:
Semua monolog teather dalam cerpen ini dikutip dari monolog Ngomong Ayam karya Embie C. Noer.


Download E-book cerpen ini di sini.

 

Popular Posts