right_side

Empati Demi Surgawi

Satu Miliar Cinta

My Book.

Pengikut

My Book Cover

My Book Cover

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

Cursor

One Piece Going Merry

Widget


Rabu, 02 Maret 2016

Bagai Telur di Ujung Tanduk



            Bertambah lagi. Bagi Darjo detik-detik saat menuliskan jejeran angka itu adalah rasa yang lebih memerihkan, dibanding saat ia harus berusaha sekuat tenaga untuk menambah penghasilan dengan berbagai cara yang halal. Betapa hidup ini melelahkan. Selama hidup ia telah berusaha untuk menjadi orang yang baik dalam artian tidak macam-macam memilih. Bagaimana bisa macam-macam jika yang bisa ia terima sebenarnya cuma itu saja. Dan ia memang selalu pasrah. Selalu menerima. Tapi apa nyatanya? Kebutuhan hidup malah terlihat yang lebih mempermainkannya semenjak anak kedua lahir dari rahim Suciati, istrinya. Dan tak bisa dipungkiri lagi, saat kebutuhan akan bahan pangan sehari-hari tidak bisa ditunda barang sehari saja Darjo terpaksa kembali mencari hutang.
            Jika diibaratkan, Darjo selalu merasa bahwa dirinya adalah telur yang sedang berada di ujung tanduk. Dalam waktu sebentar atau lama dirinya akan menjadi telur yang hancur lebur karena jatuh dari ujung tanduk itu. Mending kalau ternyata ia masih bisa menjadi telur di ujung tanduk dalam waktu lama, ia akan mencari-cari cara lebih gigih untuk tidak lagi menjadi telur. Ia akan berubah menjadi burung atau cicak yang mempunyai kaki sehingga tidak usahlah khawatir akan jatuh. Tapi kenyataan tidak semudah imajinasinya. Tidak mungkin ia bisa berada di ujung tanduk dalam waktu yang lama. Sekarang pun saat hutang yang ia catat sendiri bertambah lagi, ia merasa waktu saat dimana ia akan jatuh dan hancur berserakan semakin dekat saja.
            “Yang sabar, ya Kang. Kita ini memang tidak punya apa-apa. Hidup sederhana. Penghasilan cuma seberapa. Sebagai istri saya memang cuma bisa berada di belakang Kang Darjo,” begitu kata istrinya saat ia membuka obrolan mengenai hutang-hutangnya.
            “Iya, Ti. Seharusnya saya yang meminta kamu bersabar. Saya belum bisa menjadi kepala keluarga yang dapat menaungi seluruh anggota keluarga dengan kelayakan.”
            “Kelayakan bukan dari kecukupan, Kang. Tapi dari sejauh mana hati kita bisa lapang menerima hidup kita.”
            Benar juga. Darjo membenarkan kata-kata istrinya. Selama ini ia yang sering memberi wejangan-wejangan tentang hidup kepada istrinya. Tapi baru saja kedua telinganya mendengar kata-kata bijak itu dari mulut istrinya. Barangkali karena ia terlalu pusing dengan hutang-hutangnya, pikirannya jadi mampet.
            Kini ia bisa menarik dua langkah yang harus ia lakoni dalam situasi sekarang, menerima dan sabar. Kendati harga dirinya sebagai seorang suami hampir goyah namun kembali seperti kata-kata istrinya, kelayakan bukan dari kecukupan tapi dari kelapangan hati menerima semua. Ahh, betapa bersyukurnya ia bisa mendapatkan istri penyabar sekaligus pengertian seperti Suciati.
            Namun di satu sisi Darjo terus berjanji untuk bisa mengentas dari kemalangan ini. Meski di satu sisi yang lain ia tidak berdaya untuk memastikan kalau ia bisa mengentas. Tiba-tiba pikirannya seakan terbuka dan menanyakan kembali, apakah benar ini kemalangan? Bisa saja ini adalah uji coba dari Allah untuk membuat ia menjadi lebih pantas menjalani hidup yang matang bersama keluarga kecilnya nanti. Bukankah selalu ada sisi baik yang bisa diambil dari setiap kondisi yang buruk. Ya, Darjo tidak akan menundukkan muka karena malu dengan kondisinya sekarang. Sebaliknya ia akan berdiri tegak dengan mata menatap lurus ke depan. Ia akan menjadi mujahid yang memperjuangkan keluarganya dengan sepenuh tenaganya.
***
            Belum juga rasa optimisnya melambung tinggi, kini harus kembali roboh seperti gedung tinggi yang dihantam pesawat lalu hancur ambruk. Kemarin sore, saat ia masih di tempat kerjaan, mertuanya datang berkunjung. Suciati yang bertutur padanya. Awalnya memang Suciati tidak bercerita apa-apa, barangkali jika Darjo tidak menanyakan hal itu pun mungkin sampai sekarang Darjo tidak tahu menahu. Darjo hanya melihat tatapan aneh dari tetangganya, juga dari pertanyaan yang dilontarkan tetangganya pada saat ia pulang.
            “Mertuamu tadi ke sini, Jo. Ada apa ya, Jo? Kok tadi sepertinya ada ribut-ribut…”
            Lantas karena pertanyaan itu Darjo jadi merasa perlu tahu meskipun niat itu tidak segera ia lakukan. Darjo menunggu waktu yang tepat.
            Dan malamnya saat putri kecilnya sudah tertidur nyenyak, pelan-pelan Darjo mencoba menanyakan hal itu pada istrinya. Sedikit demi sedikit pula Darjo tahu apa yang sudah terjadi.
Entah tahu dari mana sehingga di hadapan istri Darjo sendiri alias anak kandungnya, ibu mertua mencemooh.
            “Emang enak hidup sama suamimu sekarang? Hutang di mana-mana. Suamimu itu, Ti, seperti pengen melumuri wajah ibumu dengan taik kerbau. Cuiih…!”
            Dada Suciati seketika bergidik. Sebelumnya, walaupun ibunya sering mengungkit-ungkit soal keluarganya tapi tidak sampai separah ini. Keluarganya memang privasinya yang tidak boleh diutak-atik oleh orang lain. Dan ketika ibunya mengungkit-ungkit masalah keluarganya pun Suciati sudah merasa privasinya diinjak. Apalagi sore itu.
            “Kualat! Inilah akibatnya karena kamu tidak menerima lamaran Tejo dulu. Kau lihat sekarang hidupnya, rumahnya mentereng, punya mobil, sudah jadi PNS bahkan katanya ia pingin buka industry rumahan yang dikelola istrinya itu.”
            “Sudah cukup, Bu! Aku terima kalau memang ini akibat perbuatanku. Tapi aku tidak terima jika Ibu membanding-bandingkan Kang Darjo dengan orang lain. Sejelek-jeleknya Kang Darjo, dia itu suamiku, Bu. Menantu ibu juga,” sanggah Suciati. Ia merasa privasinya telah diperlakukan seperti barang tak berharga yang tak perlu dijaga. Ia berontak tetapi bukan ingin melawan perempuan yang telah melahirkannya melainkan ingin membela diri dan keluarganya.
            “Lebih baik Ibu bawa lagi uang ini. Dudu saking kula nolak, Bu, antanapi kula ngrasa taksih saged nyekapi kebutuhan kula lan keluargi kula piyambek.[1]
            “Hhh…! Dibantu kok ndak mau, sejak kecil kamu memang aneh.”
            Matur suwun, Bu, sampun mampir teng mriki[2],” getaran dalam kata-katanya masih kentara terdengar oleh kedua telinga mertuanya. Lantas Suciati menyalami tangan ibunya saat dilihatnya perempuan paruh baya itu sudah berdiri hendak pulang.
            Perempuan itu hanya diam meski menanggapi salam dari Suciati. Diam dan dingin. Perempuan yang selalu bisa berpikiran tenang kendati kakinya sedang berpijak dalam wadah kemelut separah apapun. Kesan yang sering Darjo lihat pada istrinya pula.
            Isak tangis istrinya kini agak mereda. Darjo bisa ikut merasakan guncangan emosi yang dirasakan Suciati. Dari bagaimana istrinya menceritakan kembali kejadian itu, Darjo bisa melihat emosi yang ditahan-tahan istrinya semenjak sore tadi. Pelan tangan kanan Darjo mengelus pundak istrinya, mencoba menenangkan. Kendati ia tahu istrinya ikut menanggung beban dari keadaan saat ini namun ia yang lebih bertanggung jawab akan semuanya. Baik secara langsung ataupun tidak langsung seorang suami adalah pemegang kendali dari sebuah keluarga. Dan jika diibaratkan, kondisi keluarganya saat ini adalah sebuah mobil yang mogok dalam perjalanan.
            Seketika Darjo berdiri. Tatapannya sedikit sendu. Suciati nampak ingin bertanya-tanya namun belum terucapkan. Sampai kaki Darjo mulai melangkah menuju pintu belakang Suciati ikut berdiri.
            Bade pundi[3], kang?” tanya Suciati penasaran.
            “Mau wudhu, kita minta sama Allah supaya hati kita tenang. Saya percaya Allah menyelipkan sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi kita dalam masalah ini.”
            Suciati mengangguk. Namun tidak ikut menyusul Darjo. Malah duduk kembali Entahlah.., ia merasa agak malas. Kemudian beberapa menit Darjo keluar dengan muka basah. Di janggutnya yang pendek Suciati bisa melihat ada tetes-tetes air yang masih menggelantung di sana. Didekatinya Suciati yang masih duduk termenung.
            “Kok masih di bengong, Ti?  Yuk, sholat bareng.”
            Agak lama Suciati baru mengangguk.
            “Saya tunggu di tempat sholat ya,” ucap Darjo saat Suciati berdiri.
            “Ya,” kata Suciati pelan hampir tidak terdengar.
            Malam itu pun jadi malam hening, malam perenungan bagi mereka. Untuk mencari cermin yang bisa memantulkan diri mereka sendiri. Memantulkan diri saat kekurangan demi kekurangan seakan terus menimpa dan akhirnya memojokkan mereka pada pilihan yang serba salah. Memantulkan diri saat musibah menindih jiwa mereka lewat tubuh anak kecilnya yang pekan lalu terbaring lemah karena dilanda demam yang sangat tinggi, sehingga Darjo dan Suciati harus membawanya ke rumah sakit. Juga cermin yang bisa memantulkan diri mereka saat kehadiran anak keduanya semakin memosisikan diri mereka pada tempat dimana semakin terasa terpuruk dan bukan sebaliknya. Seperti inikah hidup? Tiada henti menimpa dan menempa.

Palimanan, 12 April 2015
15:05:59


*
Dimuat di majalah Indosuara edisi Maret 2016 Th.X Vol.05/113




[1] Bukan saya menolak, Bu, tapi saya merasa masih bisa mencukupi kebutuhan saya dan keluarga saya sendiri.
[2] Terima kasih, Bu, sudah mampir ke sini.
[3] Mau ke mana?



Download e-book cerpen ini di sini.

Popular Posts