right_side

Empati Demi Surgawi

Satu Miliar Cinta

My Book.

Pengikut

My Book Cover

My Book Cover

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

Cursor

One Piece Going Merry

Widget


Minggu, 30 Juli 2017

Rahasia Umum Seorang Buruh Migran (Bagian 1)



Nasib memang tidak bisa kita pilih, sodara. Kita ingin hidupnya sederhana saja, yang penting sehat semua. Eh ladalah, tiba-tiba kok kebutuhan serasa mepet. Apa-apa serba kecemped. Ya mau gak mau jadinya cari hutang. Sekali dua kali dapet, ke sononya? Mau bayar hutang saja masih tanda tanya, ini malah harus cari hutang lagi. Oh endonesia.
Pada akhirnya ada saja yang nyaranin ke luar negri. Ada juga yang bilang di’ekspor’ demi memperbaiki ekonomi keluarga. Masalah ekonomi memang selalu rasanya menyengat. Sampai-sampai bikin lupa itu masalah akidah gimana.
Berangkatlah akhirnya ke sebuah PT yang memberikan jasa pelayanan pemberangkatan tenaga kerja endonesia ke luar negeri. Apa lagi kalau bukan jadi PRT alias pekerja rumah tangga. Yang laki-laki ya jadi buruh pabrik, seperti saya ini. Jangan dikira yang laki-laki sedikit. Nyatanya di sini jumlah laki-laki tak kalah banyak dengan perempuan. 2 banding 3 euy.
Setelah sampai di negeri orang yang asing bahasa asing budaya, saya sendiri mengalami posisi sebagai orang oon. Planga-plongo, Sodara. Lhah gimana bisa tidak oon kalau untuk ngomong saja terpaksa pakai bahasa isyarat. Bahsa isyarat pun lebih banyak salahnya daripada benernya. Orang sini ngasih isyarat supaya ke situ ngerjain anu, eh sayanya malah ke sana ngerjain apa. Jadi tergeser deh itu tujuan memikirkan sanak keluarga dengan masalah himpitan ekonominya.
Memangnya waktu di PT gak diajarin? Sama sekali tidak. Kalau perempuan yang jadi calon PRT memang belajar bahasa ibu dari negara yang bakalan ditempati. Setiap pagi mengahafalkan kata demi kata. Ada gurunya juga yang mengajari pelafalan tiap hurufnya. Dan karena yang belajar seabreg, alhasil sekali belajar langsung coba dipraktekkan. So, rata-rata PRT dari endonesia sudah bisa bahasa sini. Setidaknya, presentase kesalahpahaman antara majikan dan pekerja sangat sedikit. Tidak seperti buruh pabrik laki-laki.
Ke’oon’an mengenai bahasa ini ternyata dialami oleh semua pekerja laki-laki yang baru pertama kali di’ekspor’. Ngenes memang. Untungnya selalu ada teman yang sudah eks: istilah untuk pekerja yang sudah selesai kontrak kemudian berangkat lagi. Jadi untuk urusan bahasa isyarat ini seringkali terbantukan oleh teman eks. Ada beberapa orang sini yang bertahan dengan bahasa isyarat untuk memberikan instruksi pada pekerja pemula. Ada juga yang malas memberikan isyarat dan memilih memanggil teman eks untuk membantu menerjemahkan omongan mereka.
Lhoh bukannya di sini dibantu penerjemah dari pihak Agency? Memang dibantu. Di hari pertama saya datang, penerjemah ini membantu menerangkan peraturan kerja di Taiwan dari awal sampai akhir. Dan membantu menerangkan peraturan dan kontrak kerja di pabrik yang ditempati. Di hari pertama sampai 5 hari selanjutnya juga dibantu menjelaskan mengenai pekerjaan yang ditangani masing-masing pekerja. Selesai itu, kita dilepas begitu saja dan langsung kerja. Begini-begini juga kita-kita sudah besar lho. Tapi ya itu, walaupun kehidupan kita di sini dibantu agency, tapi sebatas hal-hal resmi dan urgent. Masalah sehari-hari ya tetep kita sendiri yang harus berusaha mati-matian menyesuaikan diri.
Ada yang sekolah bahasa, ada yang belajar dari youtube, ada juga yang santai saja. Tapi eh tapi, itu yang sekolah bahasa ternyata dipusingkan dengan belajar tulisan sininya, sodara. Jadi biarpun dikatakan sekolah bahasa sini, tapi yang dipelajari adalah tulisan sininya bukan kata-kata di sininya. Konon itu pelajaran kosa kata adanya di tahun sekian setelah para siswa sudah mahir menulis dan membaca bahasa sini. Sama saja dong, kita-kita harus berpikir ekstra untuk bisa memahami bahasa sini. Tapi gimana mau berpikir ekstra coba, lha wong kerja di sini saja menguras tenaga, pikiran, waktu, perhatian dan lain sebagainya. Belum lagi keinginan untuk menikmati hasil keringat sendiri dengan belanja barang-barang wah. Ya tidak wah-wah juga sih. Tapi setidaknya bisa mencicipi satu dua barang bermerk. Atau rekreasi ke taman bunga. Iya, taman bunga yang di Endonesia bisa dihitung dengan jari padahal negara luas dan besar. Eh ada gak ya itu taman bunga?
Alon-alon asal kelakon lah. Biarpun bahasa tidak dikuasai benar, nyatanya banyak juga pekerja yang terus bertahan sampai kontrak kerja selesai. Seperti saya ini, sudah hampir dua tahun tapi kalau diajak ngomong sama orang sini masih mlongo aja. Cuma bisa jawab satu dua.
Nulis ini saya jadi ingat ketika suatu kali seorang teman bertanya mengenai kerja di sini. Katanya, dia juga ada keinginan kerja di sini demi apa lagi kalau bukan demi masa depan ekonomi. Lantas pesan yang pertama kali saya sampaikan adalah pelajari bahasa sini sedari masih di situ. Supaya tidak terlalu kesusahan sampai di sini. Cukup saya saja yang mengalaminya, sodara.

Guanyin, 280617

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts