right_side

Empati Demi Surgawi

Satu Miliar Cinta

My Book.

Pengikut

My Book Cover

My Book Cover

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

Cursor

One Piece Going Merry

Widget


Rabu, 23 Juli 2014

Mengenai Puisi Atau Menulis Lagi

Sebuah rasa. Awalnya adalah sebuah rasa yang mungkin saja memang sudah terkurung di dalam benak kita namun belum kita sadari. Lalu rasa tersebut muncul ketika entah karena kejadian apa bisa membuat kita peka merasakan sesuatu hingga kemudian kita pun tersadar dengan adanya perasaan itu. Nahh, di sinilah tugas kita sebagai penulis yang lebih cenderung terhadap puisi -sebenarnya cerpen pun sedikit banyak  demikian adanya-.

Sumber Gambar : http://ksatria2610.wordpress.com/2012/01/23/menulis/
Anehnya meskipun secara nyata dan sudah kita akui bahwa perasaan itu adalah perasaan kita namun kita sendiri tidak paham malah kadang sangat tidak mengerti sebenarnya apa sih yang diinginkan perasaan (dalam hal ini bisa cinta, rindu, dendam, sinis, marah atau perasaan lainnya yang menekan) itu. Nyatanya kendatipun kita sudah peka terhadap sesuatu dan sudah sadar dengan adanya perasaan yang menekan itu, tapi di sisi lain kita juga harus menerima kalau kita terhalang pada media untuk menyalurkannya tanpa tersentuh hal negatif, secara di luar sana ada banyak orang yang memilih menyalurkan perasaan atau emosinya pada hal yang negatif ngedrugs, mengonsumsi obat-obatan terlarang, mukulin tembok, mukul kaca atau makan sebanyak-banyaknya dsb yang merugikan.
Ternyata kita butuh kunci selanjutnya untuk bisa mendapatkan media itu. Lantas bagaimana dengan puisi? Apa bisa menjadi media sehingga perasaan kita terwakili? Tentu. Dan sudah pasti bisa. Coba kita perhatikan puisi Pak Taufik Ismail di bawah ini :
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu.
Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang di tembak mati
siang tadi
(Taufiq Ismail, Tirani, 1966)
Pada Puisi di atas tidak ada kata-kata yang mengharu biru atau kata-kata yang menyayat, atau mendayu-dayu namun kita bisa menangkap jelas bahwa Pak Taufik Ismail melalui puisi ini menyatakan dukanya (terlepas dari tahu atau tidaknya kita mengenai latar belakang dibuatnya puisi ini).
Jadi walaupun wawasan kita sangat mempengaruhi karya kita, kepekaan kita lebih berpengaruh lagi. Wawasan kita akan membuat kita memilih suasana yang pas. Sedangkan kepekaan kita membuat kita memilah kata-kata yang pas untuk mewakili pesan kita. Bukankah kata adalah pedang bagi penulis?

Salam Kreatifitas Menulis!

Cirebon, 23 Juli 2014
LK

Popular Posts