right_side

Empati Demi Surgawi

Satu Miliar Cinta

My Book.

Pengikut

My Book Cover

My Book Cover

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

Cursor

One Piece Going Merry

Widget


Sabtu, 30 Januari 2016

Maghrib

Ada gemuruh yang kembali dan memang masih menyeruak ruang batinnya. Kedatangan Hilman ba’da dzuhur tadi kembali menguak rasa pedih yang selama ini tak ingin ia ungkit. Kata maaf tak selamanya bagai penawar racun yang menyembuhkan sakit dalam waktu singkat. Dirinya tak pernah mengerti alasan apa yang sampai membuat Hilman meninggalkannya seorang diri tanpa pesan atau apapun setelah kematian Ibunya.
Air matanya meluruh cepat melintasi pipi saat mengingat hal itu. Ia benci menjadi lelaki cengeng seperti saat ini.
Matanya sendu menatap senja yang meranum di ujung cakrawala. Angin yang menyerbu menghantam anak-anak rambutnya seakan lari terbirit-birit kabur dari kesempurnaan senja. Di lantai dua masjid Al-Hidayah ini ia bisa menyaksikan detik-detik yang menghantarkan senja pada peraduannya dengan fajar di kejauhan sana.
"Kalau kau mau, mulailah sekolahmu lagi dan aku yang akan membiayai," kata Hilman siang tadi. Bukan kasih sayang yang Tiyo rasakan dari kata-kata Hilman, lebih seperti menganggap Tiyo sebagai sosok yang patut dikasihani.
"Tidak. Aku betah di Pondok Pesantren ini," tolaknya. Dalam hati ia sudah membuang jauh-jauh sosok ayah yang ia hargai dan ia hormati. Sempat dilihatnya sorot mata Hilman yang penuh penyesalan.
Dari jauh sayup-sayup terdengar kitab bulughul maram sedang dikaji. Suasana Pondok Pesantren sunyi dengan kesiur daun pepohonan yang melambai-lambai ditingkahi angin. Di halaman depan sana, Tiyo meperhatikan sebuah mobil keluaran Jepang yang terparkir. Hingga sedetik kemudian ia kembali perhatikan sosok di depannya. Benarkah ia ayah yang tega meninggalkanku? Lelaki yang kini telah memarkir mobilnya di depan sana, lelaki dengan perawakan tinggi dan berdada bidang juga segaris kumis yang tidak terlalu lebat melintang di atas bibirnya itu adalah ayahku? tanyanya dalam hati.
Tapi tidak, lima belas tahun tanpa kabar, meninggalkannya hidup seorang diri. Padahal saat itu Tiyo baru berumur 4 tahun. Ia bertahan hidup dengan menjual es lilin yang ia jajakan di pom bensin. Kemudian membantu menggembala kambing milik tetangganya, selama itu ia numpang tidur di setiap rumah kerabat yang ia kenal dan mau mengenalnya. Ia tak kenal sekolah seperti teman-teman seusianya. Dan Hilman yang seharusnya ada pada saat itu jauh dari jangkauan tangan papanya. Apakah itu yang dinamakan ayah?
Hingga ketika berumur sepuluh tahun tetangga yang selama ini Tiyo bantu menggembalakan kambingnya, membawanya ke Pondok Pesantren ini. Ia kenal Islam yang mengayomi jiwanya. Jiwa yang kering-kerontang, tandus tanpa figur seorang ayah yang seharusnya memberikannya sumber mata air. Maka Pondok Pesantren ini telah menjadi kedua orang tuanya, bukan hanya sebagai ayahnya.
"Tiyo! Ayah masih menganggapmu sebagai anakku. Kamu darah dagingku, Tiyo," seru lelaki di hadapannya memelas.
Tiyo diam. Ia tidak tahu apa yang mesti ia lakukan tapi ia ingin muntahkan seluruh penderitaannya saat itu. Tidak! Itu hanya memperburuk keadaan. "Tak ada yang bilang kau bukan ayahku. Aku juga tetap anakmu. Tapi aku ingin memilih hidupku sendiri. Hidupku di Pondok Pesantren ini." Ya, kedekatan antara seorang ayah dan anak yang sering ia lihat pada teman-teman santri sekamarnya tidak ia rasakan sama sekali pada Hilman. Seakan ada jarak yang kasat mata namun begitu nyata ia rasakan.
"Aku mengerti keinginanmu, Tiyo. Terima kasih karena kau masih menganggapku meskipun aku tahu kesalahanku terlalu besar untuk bisa kau maafkan."
Mulutnya tercekat. Tak tega rasanya melihat pengakuan Hilman. Bagaimanapun juga ia akan merasa lebih bersalah jika membiarkan Hilman merasa seperti itu. Pun dalam hatinya, Tiyo mengakui ia sering diserang rasa kesepian karena ketiadaan sosok ayah. Terlebih setiap akhir tahun ketika sanak saudara dari teman-teman santrinya berdatangan. Ia rindu dan memang merindui keberadaan ayah. Tapi…, memang tidak mudah menerima keberadaan seseorang yang datang dengan tiba-tiba.
Adzan ashar mengakhiri percakapan mereka saat itu.
Barangkali kenangan memang telah memberatkannya. Barangkali karena kenangan itu juga yang memakan banyak waktu sehingga untuk menganggap lelaki yang darinya ia terlahir, sebagai ayah pun bukanlah hal yang mudah. Selama 15 tahun ia hanya mengenal ayah dari namanya sedangkan wajahnya…, ia tak yakin ia masih mengingatnya dengan benar. Yang pasti saat lelaki itu mengaku Hilman, ayah kandungnya, seketika itu juga ia merasa lelaki itu tidak seperti yang ia bayangkan selama hidupnya. Bukan saja tubuhnya, pun pakaian yang ia kenakan yang kini lebih rapi daripada dalam ingatannya sewaktu ia masih kecil.
Dan mengenai apa yang selama 15 tahun ini Hilman lakukan, Tiyo ingat sewaktu percakapan tadi bahwa lelaki itu kini telah berhasil menjadi pedagang besar di tanah sebrang, Kalimantan. Hhh…! Apapun alasannya, tak bisakah lelaki itu memberinya sebuah kabar.
Sempat ia kesal jika pertanyaan yang kerap kali muncul itu kembali menggangu pikirannya. Dari kekesalan itu ia sendiri sadar bahwa apa yang sesungguhnya tarjadi adalah hatinya meretak kembali. Ia ingin membantah semua hal yang mengatakan kalau orang tua adalah panutan bagi anaknya. Namun sekuat  apapun ia berontak, ia tak berani untuk melanjutkannya.
Tanpa ia rasa, air mata mengalir dari kedua sudut mata kelamnya. Cepat ia usap air mata itu. Astaghfirulloh! Kuatkan hati ini ya Alloh.
***
Senja memerah di ujung penglihatannya. Sebentar lagi maghrib tiba. Kembali ia tekuni Nadzom Alfiyah di tangannya. Seketika hatinya terasa ringan, melayang menerbangkan pedihnya. Ia telah mengambil sikap yang tegas untuk Hilman dan dirinya sendiri, sesaat sebelum kepergian Hilman. Kendati ia tak pernah bisa menolak dalam jiwanya yang paling dalam ia merindukan sosok ayah.
“Akhir tahun nanti aku harap ayah bisa ke sini,” pintanya sebelum Hilman beranjak.
Lelaki itu tersenyum mendengar permintaan anaknya. “Pasti, Tiyo. Ayah akan ke sini lagi. Kapanpun itu…”
Tiyo mengulurkan tangan hendak menyalami dan mencium tangan ayahnya. Namun tanpa ia sangka, Hilman malah memeluknya begitu erat. Ada haru yang seketika ikut menyeruak di dalam hatinya. Ia ingin menangis pula. Namun ia hanya bisa membalas dekapan ayahnya. Setidaknya Hilman juga tahu bahwa selama ini ia memang merindukan seorang ayah.

Selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts