right_side

Empati Demi Surgawi

Satu Miliar Cinta

My Book.

Pengikut

My Book Cover

My Book Cover

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

Cursor

One Piece Going Merry

Widget


Sabtu, 28 Juni 2014

Bicara Mengenai Menulis Atau Kreatifitas Menulis



Ala Bisa Karena Biasa (Hanya untuk yang suka menulis)
Peribahasa/ungkapan tersebut lebih menyatakan bahwa segala sesuatu bertahap entah untuk hal yang sepele seperti belajar mengendarai sepeda ataupun untuk hal yang besar seperti daya kreatifitas yang dimiliki oleh kita semua. Meskipun tahapan-tahapannya kecil namun (kembali pada peribahasa di atas) jika dilakukan secara berkesinambungan maka akan menuai hasil yang memuaskan, lincah saat bersepeda sampai-sampai pada saatnya menjadi atlet internasional misalnya atau membuat sebuah inovasi yang menakjubkan di mata dunia karena daya kreatifitas yang begitu tinggi. Itu semua bisa saja terjadi.
Namun sayangnya kita cenderung menyorot pada hasil dari apa yang telah dicapai oleh seseorang. Dan bukan pada seberapa lama ia berusaha sampai titik berhasil itu atau pada seberapa keras ia berusaha untuk bisa mencapai titik tersebut.
Seperti halnya seorang penulis sekelas dengan Mba Helvy Tiana Rosa atau adiknya Mba Asma Nadia atau juga Pak Seno Gumira Ajidarma. Entah seberapa lama dan sekeras apa mereka menekuni dunia menulis tahu-tahu kita mengenal mereka sebagai penulis sastra papan atas negeri ini. Sebenarnya ini hal lumrah karena kita adalah penonton bagi orang lain. Dan tentunya tidak salah juga kita menjadi penonton bagi diri kita sendiri atau meminjam ungkapan lain yakni instropeksi (dalam hal menulis tentunya).
Mari kita coba menengok kembali kesalahan-kesalahan kecil kita pada tulisan kita sendiri. Bisa jadi kita baru menyadari kesalahan-kesalahan kecil itu sekarang. Mari kita lebih teliti untuk menilik kembali anak kreatifitas kita dalam bentuk tulisan yang sering kali kita bangga-banggakan sampai begitu PEDEnya kita kirimkan tulisan itu pada media atau pada lomba-lomba dengan skala luas.
Mulai dari seperti apa susunan kalimat kita, seperti apa kita memilih kata -secara kata dalam bahasa Indonesia sangat kaya-, lalu seperti apa cerita yang kita ambil dan dituangkan dalam tulisan. Dan coba kita bandingkan dengan karya Mba Helvy Tiana Rosa, Mba Asma Nadia atau Pak Seno Gumira Ajidarma. Pasti ada beda dan tentu karya kita tidak bisa disamakan dengan karya mereka, wong mereka penulis kolot kok. Paling tidak kita bisa mengambil contoh dari karya mereka. Dan paling tidak kita tahu bahwa dengan daya kreatifitas kita, kita bisa mencuri tips-tips dari karya mereka. Perhatikan tiap pemilihan katanya, pengungkapannya, penegasannya, alurnya, plotnya dan lain sebagainya. Nah, ketika kita sudah bisa memperhatikan secara detail tiap kalimat dari karya mereka saatnya kita memperhatikan secara detail pula karya kita. Lihatlah apa yang terjadi pada diri kita.
Hasil dari semua itu memang tidak bisa langsung kita terima dan sadari. Bukan hasil yang menjadi hal utama namun proses yang perlu kita utamakan. Karena ‘proses’ menempa kita, ‘proses’ mengasah kita, ‘proses’ pun mengajari kita.
Ala bisa karena biasa. Ketika kita membiasakan diri untuk lebih teliti pada karya diri kita maupun karya orang lain maka sejatinya kita sedang membawa perbaikan pada daya kreatifitas kita sendiri.
Salam Semangat Menulis !
sumber gambar : http://elektrikbank.blogspot.com/2013/04/pentingnya-menumbuhkan-minat-menulis.html

Sabtu, 14 Juni 2014

Tabir Takdir


Tabir Takdir[1]

            Pikirannya berkelebat sangat tidak menentu, kacau. Kenyataan yang baru saja didengar kedua telinga membuatnya merasa menjadi manusia paling malang di dunia ini. Betapa tidak, dua orang yang selama ini telah menjadi orang tuanya ternyata bukanlah orang tua kandung yang sebenarnya. Ia kalut, ini seperti di sinetron saja. Tapi secara jujur ia sendiri merasa aneh jika dengan tiba-tiba ia harus berasumsi bahwa orang-orang yang selama ini ia kenal sebagai saudaranya bukanlah siapa-siapa dalam hidupnya.
            Ada perasaan sayang dan nyaman yang kadung melekat dalam jiwanya, jika ternyata kenyataan itu memang benar maka ia harus mencabut perasaan itu dengan paksa dari jiwanya. Bisakah? Sekali lagi, ini bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi jika ia kembali teringat betapa bahagianya kedua orang tuanya itu saat ia sendiri selalu meraih prestasi terbaik di sekolahnya dulu hingga di Universitas di mana ia belajar sekarang. Ia begitu dibanggakan, ia juga merasa bahagia hidup di antara mereka seakan semua perasaannya selama ini memang telah tertuang ke dalam sebuah muara, lebur menjadi satu.
            “Mereka mengambilmu secara paksa ketika kau masih bayi!” kata-kata pahit itu kembali terngiang di kepalanya.
            Bagaimana mungkin bisa terjadi seperti itu? lalu apa yang dilakukan orang tua kandungku waktu itu. Mereka tega membiarkanku?!
            “Orang tuamu hanyalah tukang gembala kambing milik orang lain. Dan ibumu penyabit rumput untuk kambing-kambing itu. Kau tahu kalau kau mempunyai saudara sebanyak 15 orang? Ya, karena alasan itulah kemudian kedua orang tuamu membiarkan mereka mengambilmu meskipun kau anak lelaki satu-satunya.”
“Kalau begitu orang tuaku mengijinkanku diambil oleh orang lain, bukan secara terpaksa seperti katamu?” kata lelaki itu mencoba menolak semua ucapan lelaki paruh baya di depannya.
“Mungkin bisa dibilang tidak secara paksa jika orang yang mengambilmu tidak mengancam akan menelantarkan seluruh keluargamu.”
Seakan ada halilintar yang memekakkan telinganya saat itu. Kata-kata itu bohong!
Bahkan sampai saat ini ia tidak ingin mempercayai kata-kata itu sama sekali. Semakin ia menolak, semakin terasa getir dalam hatinya. Bukankah penolakan terhadap kenyataan semakin menguatkan kenyataan itu sendiri.
            Tapi kalau benar begitu kenapa selama ini aku tidak mengetahui di mana keluargaku yang sebenarnya? Apakah orang tuaku yang sekarang menyembunyikannya dariku?
            “Mereka membawamu ke tempat yang jauh setelah pengambilan itu dengan membayar semua operasi yang dilakukan para dokter saat ibumu melahirkanmu. Seandainya waktu itu kau masih ditangani oleh seorang dukun beranak di kampung mungkin nyawamu tidak akan selamat, atau terlahir cacat pun sudah sangat menguntungkanmu. Posisi tubuhmu sewaktu dalam kandungan sungsang. Itu sudah kondisi yang sulit untuk dilahirkan apalagi saat tubuhmu mulai keluar hanya kaki kirimu yang menyembul dari rahim ibumu. Denyut jantung ibumu melemah, sedangkan ayahmu sendiri tidak bisa membubuhkan tanda tangan supaya operasi dijalankan. Kau dan ibumu seakan berada di ambang maut. Saudara-saudaramu sendiri yang hampir memenuhi lorong rumah sakit saat itu tidak bisa berbuat banyak. Mereka hanya menunggu. Mereka tidak mengenal do’a dan munajat. Keluargamu itu... jauh dari agama.
            “Sampai Pak Juna, kerabat dari majikan ayahmu yang kebetulan ada di rumah sakit saat itu menyatakan menanggung semua beban biaya operasi demi menyelamatkanmu dan tentu juga ibumu.”
            “Pak Juna? Ayah?” matanya membelalak tak percaya. Sosok yang ia kenal selama bertahun-tahun, ternyata mempunyai sisi kelam yang tidak pernah ia ketahui bahkan tak terendus sama sekali olehnya.
            Sampai di situ ia sendiri merasa pusing untuk mendengar lebih jauh penuturan Pak Mulyo, pamannya –bahkan ia mulai meragukan bahwa Pak Mulyo memang pamannya-. Ia ingin marah mendengar semua itu. Tapi pada siapa? Orang tuanyakah? Dengan keadaan serba terbatas waktu itu, mungkinkah mereka bisa bertindak lebih untuk menyelamatkan nyawanya? Atau kepada orang tua asuhnya selama inikah? Tapi bukankah karena mereka, ia dan ibu kandungnya berhasil diselamatkan.
***
            Kecamuk dalam dadanya belumlah reda. Dengan sedikit keterangan yang dia dapat dari Pak Mulyo akhirnya ia bisa menemukan rumah itu. Rumah gubuk dengan penghuni yang penuh sesak. Dan kedua orang yang kini sudah tua renta, duduk di depannya.
            Ada bening air mata yang sangat perlahan meleleh dari kedua sudut mata ibu kandungnya. Dilihatnya dengan seksama gurat wajah tua di depannya. Cokelat dengan gurat yang menyerupai tanah retak saat musim kemarau. Dan bau tanah yang sesekali terbauhi terbawa angin menerpa indera penciumannya. Juga rambut tipis berwarna abu-abu yang bergoyang-goyang diterpa angin laksana alang-alang yang meranggas saat kekeringan.
            Tak ada kata yang keluar dari mulut kedua orang tuanya selama beberapa menit. Namun dari tatapan keduanya, ia tahu ada rindu yang memuncak dan terbuncah secara mendadak yang tertuju padanya.
            “Maafkan kami kalau menurutmu kami yang salah, Nak,” ayahnya berkata lirih. Giginya yang sudah hampir tanggal semua membuat kata-kata itu tereja sedikit meleset.
            “Bukan Bapak ataupun Ibu yang salah. Aku hanya masih belum bisa menerima kalau Pak Juna tega mengambilku dari Bapak dan Ibu.”
            Seketika kedua orang tua itu saling menatap mendengar penuturan anak lelaki mereka satu-satunya itu. Seakan ada sebuah pertanyaan atau lebih tepatnya pernyataan akan sesuatu yang seharusnya tersampaikan namun tertunda.
            “Jadi kau belum tahu alasan itu?” kali ini Ibu yang bertanya padanya.
            Ia menggeleng. “Tidak, Bu.”
            “Pak Juna…, istrinya waktu itu telah delapan kali keguguran, Nak.”
            Mata lelaki itu terbelalak. Ia tidak salah dengar. Kata-kata ibunya jelas mengatakan kalau istri Pak Juna atau Ibu asuhnya selama ini telah keguguran sebanyak delapan kali.
            “Ada rasa iba yang kami rasakan melihat nasibnya, Nak. Di sisi lain, kami ingin berterima kasih padanya walaupun kelahiranmu sangat kami nanti-natikan.”
            Hanya itu penjelasan terakhir yang ia terima untuk memperjelas benang ruwet yang membebat pikirannya beberapa hari. Namun sebegitu jelas ia mendengar kenyataan, ia merasa belum siap untuk menerimanya. Apa mereka menganggap ini hanya permainan? Yang dengan mudah menganggap hal besar menjadi sesuatu yang sederhana sesederhana mereka memutuskan untuk melepaskan aku pada Pak Juna?
            Ia ingin bersimpuh di telapak kaki kedua orang tuanya namun entah kenapa niat itu runtuh seketika setelah ia mendengar penjelasan itu. Ia merasa tidak berharga, sama sekali tidak.
            Tiga menit kemudian ia beranjak pulang setelah sebelumnya menyalami kedua orang tua kandungnya namun merasa enggan untuk mencium kedua tangan mereka. Entah sikap apa yang akan ia ambil nanti. Hanya saja merasa menjadi orang yang tidak berharga adalah kenyataan paling pahit yang pernah ia rasakan selama hidupnya.

*Selesai*


[1] Cerpen ini telah dimuat di koran Radar Cirebon edisi sabtu pon, 02 Agustus 2014/6 Syawal 1435 H

Download e-book cerpen ini di sini. 
 

Popular Posts