right_side

Empati Demi Surgawi

Satu Miliar Cinta

My Book.

Pengikut

My Book Cover

My Book Cover

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

Cursor

One Piece Going Merry

Widget


Kamis, 05 Mei 2016

Setrikaan Arang dan Lebaran

Oleh : Ade J. Asnira
 
Di tengah kesibukan Ina membuat penganan kecil untuk lebaran besok, ada setrikaan arang yang diam-diam mengganggu pikirannya. Masalahnya lebaran kemarin ketika ia sudah siap untuk menyetrika baju lebaran dan mukenanya tiba-tiba benda kesayangan itu raib. Padahal ia sudah mewanti-wanti saat ia akan memulai ritual rutinnya, setrikaan arang itu harus ada, mengingat waktu yang ia punya di tengah kesibukannya hanya waktu sore saja.
Pagi, ia membuat penganan-penganan kecil pesanan para tetangga sekaligus untuk keluarganya sendiri. Sampai dzuhur tiba setelah itu ia membuat ketupat pun dengan jumlah yang tidak sedikit. Ya, ia pun menerima pesanan ketupat kosong dari para tetangganya. Maka jadilah hari itu ia super sibuk. Baru kemudian setalah sampai waktu ashar ia selesai dan memulai ritual khususnya, menyetrika baju lebaran dan mukenanya dengan setrikaan arang satu-satunya.
Mengenai kenapa tidak sedari hari-hari kemarin saja Ina menyetrika baju dan mukenanya, itu masalah lain. Ia ingat dengan kesunnahan pada hari lebaran untuk memakai baju yang terbagus dan terbaik yang dimiliki. Sedangkan jika disetrika dari jauh-jauh hari Ina takut garis-garis lekukan saat mukena dipakai akan terlihat jelas, karena itu Ina bersikeras untuk menyetrika baju sehari sebelum lebaran meskipun pada hari itu juga ia disibukkan dengan menyiapkan pesanan para tetangganya.
Dan hari itu adalah sehari sebelum hari raya Idul Adha. Hari raya besar. Ina harus menyiapkan semuanya dengan matang. Apalagi pada hari raya Idul Adha memang hanya ada sedikit pesanan dari para tetangga. Maka Ina punya waktu panjang untuk melakukan ritual khususnya itu.
 “Maaak…!” suara Ina melengking memanggil Emaknya. Wanita paruh baya itu seketika menghentikan pekerjaannya menjahit pakaian.
“Setrikaanku mana?” sulut Ina dengan bibir merengut. Setrikaan arangnya hilang lagi. “Dipinjam sama Wak Dulah ndak? Lebaran kemarin dia minjem ndak bilang-bilang.”
Emak yang ditanyai belum bersuara. Diturunkannya kacamata yang nangkring di pangkal hidungnya. Lalu tanpa mengalihkan pandangannya ke depan ia mengingat-ingat siapa yang baru saja meminjam benda kesayangan Ina tersebut.
“Emak lupa ya?” bibir Ina kini manyun.
“Sepertinya…” kata-kata Emak menggantung. Emak hampir ingat siapa orang yang satu jam lewat tadi meminta ijin padanya untuk meminjam setrikaan arang milik Ina. Emak ingat suaranya bahkan Emak ingat ke mana orang itu kemudian membawa setrikaan arang itu. Tapi…
“Yang meminjam setrikaan tadi…” lagi-lagi tidak ketemu. Ingatan Emak mentok padahal sepertinya nama orang itu sudah ada di ujung lidah.
Ina balik langkah. Bibirnya tak berhenti manyun. Ia kecewa… sangat kecewa, tetapi bukan pada Emak melainkan pada orang yang meminjam setrikaan itu. Semua tetangga dan kerabat sudah pada tahu kalau Emak susah mengingat sesuatu, kenapa si peminjam tidak bilang langsung pada Ina saja? Apa mereka tidak tahu bahwa setrikaan arang itu adalah benda kesayangan satu-satunya. Apa mereka tidak tahu kalau setrikaan arang itu membuat ia berpenampilan rapih, anggun, cantik dan yang paling utama adalah melalui benda itu ia merasa bisa lebih dekat saat menghadap Allah dalam sholatnya. Allah menyukai keindahan, karena itu Ina selalu mengusahakan rapi saat sholat. Dan besok adalah hari besar hari raya Idul Adha.
Samar-samar Emak melanjutkan jahitannya. Suara dedaunan diterpa angin kembali terdengar. Meja yang sudah Ina siapkan untuk menyetrika dibiarkan saja. Baju dan mukenah yang juga sudah ia siapkan terpaksa ia bawa lagi ke dalam kamar. Ina mengurung diri di kamar.
Siang yang terik. Panas dan kering. Sesekali angin menyerbu membuat ribut daun-daun pohon mangga di depan rumah Ina. Di atas genting belakang rumahnya -hanya bagian ini yang selalu Ina pakai untuk menjemur arangnya- bongkahan-bongkahan hitam dengan berbagai macam ukuran itu nampak hitam pekat dan kering.
***
Ina tergeregap. Ia ketiduran dalam kamarnya. Cepat-cepat ia keluar dan melihat jam dinding. Setengah lima sore dan ia belum sholat ashar.
“Emak kenapa ndak bangunin Ina waktu ashar tadi?” tanya Ina saat berjalan melewati emak yang masih di depan mesin jahit, sambil nyelonong menuju tempat wudhu.
“Emak lupa, Ina,” kata Emak sambil menghentikan pekerjaannya. Ia kini berdiri dan beranjak menyusul Ina. Emak juga baru ingat kalau ia sendiri belum sholat ashar.
Seusai sholat dan merapikan mukena, Ina membantu merapikan jahitan-jahitan Emak. Benang yang ditaruh sembarangan, jarum yang dikeluarkan dari tempatnya dan lupa dimasukkan lagi dan celana milik tetangga yang baru saja diselesaikan tapi tergeletak begitu saja di kursi. Pasti diduduki sama Emak, pikir Ina. Dan ketika ia hendak kembali menuju kamar dan melewati ruang tanmu…,
“Nah…, ini setrikaan arangnya sudah kembali. Emak tahu gak siapa yang balikin?” Emak dari dalam kamar keluar. Melihat setrikaan itu dan beralih memperhatikan raut muka anak bungsunya.
“Tadi Emak tahu waktu setrikaan arang ini dikembalikan. Tapi Emak ndak melihat wajahnya.”
“Jadi…?”
“Emak ndak tahu.”
Hampir saja bibir Ina kembali manyun, untungnya benda kesayangan itu sudah berada dalam genggamannya kembali.
“Yo wis, yang penting benda ini sudah kembali toh,” kata Ina sambil menuju kamar untuk mengambil baju lebarannya. Senyum Emak terkembang.
Beberapa menit kemudian Ina sudah disibukkan dengan kipas dan arang. Asap yang mengepul semakin lama semakin sedikit. Arang dalam setrikaan membara merah menyala.
CKLEK..!
Ina mengunci bukaan setrikaan arang. Lalu dimulailah ritual khususnya itu. Senyum Ina merekah seketika. Mulutnya kini mulai bertakbir. Pada hari raya Idul Adha disunnahkan bertakbir mulai dari ba’da sholat ashar.
***
Takbir kini menggema ke seantero langit melalui pengeras suara dari beberapa masjid dan musalla. Hati setiap muslim akan tersentuh untuk ikut mengagungkan nama Allah di malam itu. Semua bahagia menyambut hari raya. Pun langit kini terlihat begitu cerah tanpa segumpal awan terlihat. Langit bening meski hanya beberapa bintang yang nampak.
Baru saja Ina menyelesaikan sholat isyanya mendadak pintu rumah terdengar ada yang mengetuk.
Assalamu’alaikum…!
Wa’alaikum salam,” sahut Ina dari dalam. Lantas ia melangkah menuju pintu untuk membukanya.
“Pak Didi? Eh…, silakan masuk Pak.”
Pak Didi tersenyum menanggapi sambutan Ina. Ia melangkah masuk duduk bersama lelaki di sebelahnya.
Ina belum sempat memperhatikan lelaki yang bersama Pak Didi. Ina keburu ke belakang dan menyiapkan minuman untuk tamunya tersebut setelah mempersilakan duduk dan meminta untuk menunggu sebentar. Emak keluar dari kamar dan turut menyambut tamunya.
“Jadi begini, Mak. Keponakan saya ini mau memberikan sesuatu pada Emak.  Ia ingin dari apa yang ia dapatkan ada sebagian yang disedekahkan pada orang yang tepat,” begitu papar Pak Didi setelah basa-basi dengan Emak di ruang tamu.
Pak Didi menyodorkan amplop putih kepada Emak. Emak menerima pemberian itu. Setiap malam lebaran Pak Didi memang selalu memberikan sesuatu pada Emak. Seperti malam itu. Jadi Emak pun sudah terbiasa dengan pemberian itu sampai-sampai hubungan Pak Didi dengan Emak seperti keluarga sendiri.
“Ini minumannya Pak Didi! Maaf agak lama,” kata Ina sambil menaruh cangkir di depan kedua tamunya.
“Oh… iya, terima kasih. Dan terima kasih juga, Ina untuk setrikaan arangnya,” kata Pak Didi tiba-tiba.
Ina melongo. Jadi Pak Didi yang meminjam setrikaan arang?
“Kebetulan setrikaan listrik yang saya punya rusak sedangkan kami perlu merapikan pakaian untuk lebaran besok. Terutama pakaian Ikhsan.”
Ikhsan?, seketika Ina seperti mengingat sesuatu yang begitu akrab dalam hidupnya.
“Lhoh…, kok bengong? Apa sudah ndak kenal sama Ikhsan lagi? Keponakan saya ini,” kata Pak Didi sambil menepuk bahu lelaki di sebelahnya. “Kebetulan lebaran ini dia bisa pulang. Sudah 5 tahun di rantauan tapi saat pertama tiba di sini yang ditanyain langsung kamu, Ina.”
“Apa kabar, Ina?” sapa Ikhsan dengan senyum yang samar-samar Ina kenal.
Dan semakin lama Ina mencoba mengingat wajah lelaki berkopiah hitam di depannya itu. Meski ada cambang di bawah dagunya perlahan ia mulai mengenali lelaki itu. Ya, lelaki itu adalah lelaki yang dulu ia kagumi. Lelaki yang sampai saat ini masih sering muncul dalam mimpinya namun tak berani ia indahkan.
“Dan tadi siang itu, saya meminjam setrikaan arang kamu ya untuk menyetrika baju lebaran Ikhsan,” kata-kata Pak Didi membuyarkan ingatan Ina.
Ina mengangguk dan tersenyum. Tapi cepat-cepat ia berusaha untuk bersikap wajar. Ia tidak ingin luapan perasaannya karena lelaki yang selama ini diam-diam diidamkan ada di depannya, terlihat oleh Pak Didi.
“Oh…, tidak apa-apa. Pak. Sungguh tidak apa-apa kok. Lagian kalau memang Ikhsan memerlukannya ya pasti saya pinjamkan.”
“Ya syukurlah kalau begitu. Tapi ngomong-ngomong yang lebih butuh sebenarnya istri saya lhoo bukan Ikhsan, kenapa yang diomongin Ikhsan?” goda Pak Didi kemudian tertawa.
Ikhsan di sebelahnya tertawa malu-malu dan menyenggol lengan Pak Didi. Muka Ina malah mengkerut dan tidak berani melihat muka kedua tamunya itu.
Yo wis, kami pamit. Emak yang sehat-sehat. Tolong do’akan kami juga. Kami pamit ya…” ujar Pak Didi sambil berdiri.
Ina turut berdiri namun masih menundukkan pandangannya. Perasaannya jadi tak menentu. Ternyata Pak Didi bisa melihat perubahan sikapnya di depan Ikhsan padahal ia sudah berusaha untuk bersikap sewajar mungkin.
Selepas kepergian Pak Didi dan Ikhsan, Ina beranjak ke dalam kamarnya. Di situ ia meluapkan perasaannya. Ia bahagia, senang, malu dan ada letupan-letupan kecil yang ia rasakan memenuhi rongga hatinya, ia tak bisa menafsirkan perasaan apa itu. Ia hanya merasa bahagia di tengah gema takbir yang terus berkumandang dan lenguhan sapi milik tetangga yang akan dijadikan qurban besok.
“Ina, kata Ikhsan besok dia mau ke sini lagi,” kata Emak dari balik pintu.
“Yang benar, Mak?”
“Iya. Kamu suka lelaki itu, Na?”
Tak ada jawaban dari Ina. Ia hanya tersenyum sumringah. Tingkahnya jadi seperti remaja yang baru mengenal asmara.
Di balik pintu, Emak ikut tersenyum lalu menggeleng-gelengkan kepalanya dan beranjak menuju kamar pula.
***


*Cerpen ini pernah dimuat di Indo Suara edisi Mei 2016

Mau baca cerpen ini secara offline?
Kamu bisa langsung download e-booknya di sini.

Popular Posts