right_side

Empati Demi Surgawi

Satu Miliar Cinta

My Book.

Pengikut

My Book Cover

My Book Cover

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

My Book

Cursor

One Piece Going Merry

Widget


Rabu, 20 Januari 2016

Senja Turut Mengenangmu


Senja menenggak ranumnya dengan perlahan di balik kaca jendela bus yang aku tumpangi sore ini. Baru kali ini aku bisa lagi menikmati indahmu, senja.

Aku pulang Bu, kataku dalam hati. Belum sempat aku membawa buah tangan untuk ibu tercinta di rumah yang sudah lama tak kujumpai. Waktu libur yang sempit membuatku tak sempat pulang ke rumah, tanah kelahiranku sendiri. Meski jarak ke Cirebon tak begitu jauh namun bukan jarak yang menjadi masalah utama. Bukankah waktu juga terkadang seakan benar-benar memusuhi kita. Tanpa dirasa waktu selalu mencuri kelengahan kita dan berlari cepat. Maafkan aku Bu. baru setelah empat tahun ini aku sempatkan kembali ke pangkuanmu lagi.
Aku masih ingat sekali saat keberangkatanku merantau ke Ibu Kota. Engkau rela kesana kemari mencari pinjaman untuk peganganku selama satu bulan pertama hidup di daerah orang. Semua saudara dekat kau datangi dan tanpa peduli egomu sebagai wanita, kau meminta pinjaman pada mereka. Aku tak tega melihatmu seperti itu Bu. Tak ingin aku melihat hal seperti itu lagi padamu.
“Jangan pernah tinggal sholat, Cung[1]. Pergilah. Ibu tak bisa membantu kamu untuk memenuhi kebutuhan hidupmu.” Aku masih ingat betul saat Ibu berkata demikian. “Ibu cuma bisa memberi do’a, Cung. Ibu dan Bapakmu tak bisa lagi membantu hidup kamu. Hidup kamu ya kamu yang cari.”
“Iya Bu.” Aku selalu mendengar kata-kata Ibuku dengan seksama. Ibuku yang selama empat tahun ini menjadi kenangan indah dalam mimpi-mimpi dan halayanku saat menampung kesepian.
Kini senja memerah memperlihatkan tuanya. Sebentar lagi waktu maghrib. Aku harus berniat jamak karena tak mungkin berhenti di tengah jalan di antara waktu magrib dan isya yang sempit.
Cung bentar lagi maghrib lho. Ayo jangan malas-malasan. Ambil sarungnya.” Begitu engkau selalu mengingatkanku. Mengangkatku untuk menjadi manusia yang tahu diri sebagai makhluk.
Suara mobil menderu. Angin yang menelusup lewat jendela masih saja mengusik rambutku.
“Mau pulang ke mana Mas?” tanya seorang Bapak yang duduk di sebelahku.
Aku tergeragap. “Ke Cirebon Pak.”
“Cirebonnya di mana Mas? Aku juga punya sodara orang Cirebon lho.
“Di Palimanan Pak.”
“Ooo Palimanan toh. Jauh dong. Sodaraku tinggal di Jagapura.”
Bapak itu mengambil botol minuman dari dalam tas, Kemudian meminumnya.
“Minum Mas?”
“Iya Pak terimakasih.”
Bapak itu mengangguk-angguk. Lalu kembali diam. Hening. Hanya suara mobil yang menderu. Langit sudah gelap. Lampu bus dimatikan. Sudah masuk tol rupanya. Bapak di sebelahku terlihat memejamkan matanya dan bersandar. Penumpang bus lainnya juga sepertinya tidur.
Pikiranku kembali mengenangmu.
“Ibu senang kalau melihat kamu bahagia Cung. Ibu sudah tua, jadi tak perlu apa-apa lagi. Tinggal kamu yang harus berusaha. Yang luwes Cung kalau kerja. Biar Mandor menyukai kerjamu.”
Aku mengerti mandor yang engkau maksud itu siapa. Engkau hanya tahu atasan kerja kita disebut mandor. Tak peduli jika kita kerja di toko atau di warung makan. Ahh Ibu. Kepolosanmu semakin membuat kasih sayangku bertambah kepadamu. Begitu besar keinginanku untuk bisa membalas semua yang telah kau perjuangkan untuk anakmu ini.
“Ini Bu aku bawain sirop buat Ibu.” Ibu memang suka sekali penasaran ketika melihat iklan makanan di TV. Waktu itu dengan uang simpanan aku ingin memberikan sirop untuk ibu karena ibu sangat penasaran dengan rasa sirop yang diiklankan TV berkali-kali siang dan malam.
“Mmmm….” Ibu meminum sirop yang aku buatkan. “Ini sirop kurang manis kok dibilang manis.”
Aku tersenyum mendengar pengakuan Ibu. “Sirop itu memang manisnya kurang Bu, tapi aroma buahnya sangat terasa. Di TV juga bilangnya gitu kan Bu.”
“Ya sudah besok-besok ora usah beli Cung. Pasti mahal padahal ora enak.”
Ibu selalu begitu. Hanya tahu kalau penganan itu enaknya manis. Tak menghiraukan aroma atau bentuknya, yang penting manis. Pasti dihabiskan sambil nyengir lalu bilang, enak, enak Cung kapan-kapan beli ini lagi ya Cung.
Aku tersenyum sendiri mengingat kejadian itu. Tak terasa empat jam sudah aku mengingatmu.
Jasamu Bu. Jasamu itu yang membuatku mengenangmu begitu indah. Aku tahu Bu. Aku tahu engkau seringkali hanya makan sekali dalam sehari hanya agar aku bisa makan tiga kali sehari. Aku tahu kau seringkali meminta-minta pada tetangga untuk membeli obat saat aku sakit. Kau memang tak pernah sanggup membiarkan anakmu ini dalam keadaan yang sengsara tapi kau membiarkan dirimu sendiri terlindas demi anakmu ini. Dan engkau tak berhenti sebelum mendapatkannya. Engkau begitu gigih membela anakmu ini. Hanya untukku engkau sampai seperti itu. Aku tahu itu, Bu.
Segera kuusap pipiku yang tak terasa membasah mengenangmu.
Di luar hujan gerimis padahal tadi senja memesona sangat cerah. Tempias air menampar-nampar kaca candela yang segera kututup. Hanya gerimis kecil. Seolah tahu apa yang telah aku pikirkan. Perasaan yang mengembun dalam hati, di terpa angin yang sedikit menghibur, aku terus mengenangmu.
“Arjawinangun…, ayo yang turun siap-siap,” teriak kondektur bus di depan.
Sebentar lagi aku sampai. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana keadaanmu sekarang Ibu. Aku ingin tahu. Sehatkah engkau di sana? Aku terus memikirkanmu, Bu. Menit-menit ini serasa semakin membuat hati ini bergetar. Bergetar untuk segera memelukmu, merangkulmu, memandangmu dengan penuh kasih sayangku, anakmu. Seorang anak yang ingin sekali membalas segala jasa dan pengobananmu selama ini.
Aku merangsek ke depan untuk bersiap-siap turun. “Di depan sana turun Pak.”
“Di depan rumah makan itu?”
“Ya.” Kupegang erat tas yang kubawa.
Akhirnya aku menginjak tanah kelahiranku kembali. Ku telusuri jalan menuju rumahku. Banyak yang berubah. Rumahku sudah terlihat di depan. Dengan lampu yang meremang.
Assalamu’alaikum….”
Wa’alaikum salam,” suara dari dalam rumah menjawab. Itu engkau. Aku masih sangat kenal suaramu, Ibu. Tidak tidurkah kau malam ini Bu? Benarkah prasangkaku, kau sedari tadi sore menunggu kepulangan anakmu ini Bu?
Setelah kau buka pintu segera kuraih tanganmu dan kukecup berkali-kali. Bahkan ingin sekali aku mencium kakimu tapi tanganmu segera meraih pundakku agar cepat berdiri. Kutatap majah tuamu begitupun Engkau. Engkau merabai wajahku yang mungkin sudah basah oleh genangan air mata untukmu. Wajahmu sudah terlihat lebih banyak keriput Bu. Rambutmu pun semakin banyak yang memutih. Saat itu kita hanya diam, merasai getaran yang begitu dalam dan terjemahkan sebagai cinta melalui kangenku padamu selama ini.
“Ini kamu kan Cung? Kamu baik-baik saja di sana kan Cung.”
“Iya Bu. Aku baik-baik saja. Aku kangen sekali sama Ibu,” kujawab dengan bibir yang gemetar menahan isakan yang bergemuruh di dada. Cepat kudekap tubuhmu. Begitu tulus do’a yang tiba-tiba mengalir dari bibirku.
“Allahummaghfirlii waliwaa lidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa.”

Untukmu, Ibu
Yang tak pernah lelah menyayangi anakmu ini.


[1] Panggilan untuk anak laki-laki bagi orang Cirebon. Seperti Nak.


Download E-book cerpen ini di sini.

Mengenai Keyakinan Yang Dilalaikan


Semuanya tidak seperti yang kita kira. Ya, kita hanyalah makhluk yang sangat lemah selemah-lemahnya. Kita pun adalah makhluk yang sangat tidak berkuasa setidakkuasa-kuasanya. Betapa tidak. Selama hidup kita, kita tidak akan bisa memastikan apa yang akan terjadi kemudian. Satu tahun kemudian. Satu bulan kemudian. Satu minggu kemudian. Bahkan satu hari, satu jam, satu menit, satu detik kemudian pun kita tidak bisa memastikan apa yang akan terjadi.
Segala apa yang kita punya tak akan pernah bisa memastikan hidup kita sendiri. Benda secanggih otak manusia pun tidak akan bisa memastikan hidup manusia. Semua kejadian yang berjalan di depan mata kita bukanlah apa yang kita rancang. Orang yang duduk di depan kita. Mobil yang melintas di depan rumah kita. Pedagang yang ikut melintas di depan kita. Atau sekedar pensil yang terjatuh dari meja kita. Semuanya bukan dari kendali otak kita.
Lalu dengan dasar apa manusia begitu lancang mencoba menata masa depan. Dengan ilmu? Dengan materi? Semuanya sungguh tak berguna di depan kuasa Tuhan.

sumber gambar: Google





Ini bukan masalah waktu yang selamanya merupakan hal yang mutlak. Bukan juga masalah takdir yang sudah ditetapkan oleh Tuhan. Barangkali sebenarnya adalah masalah keyakinan bahwa bekal kita bukanlah dunia beserta isinya, hanya saja kita cenderung melalaikannya.

Popular Posts