Di tengah kesibukan
Ina membuat penganan kecil untuk lebaran besok, ada setrikaan arang yang
diam-diam mengganggu pikirannya. Masalahnya lebaran kemarin ketika ia sudah
siap untuk menyetrika baju lebaran dan mukenanya tiba-tiba benda kesayangan itu
raib. Padahal ia sudah mewanti-wanti saat ia akan memulai ritual rutinnya,
setrikaan arang itu harus ada, mengingat waktu yang ia punya di tengah
kesibukannya hanya waktu sore saja.
Pagi, ia membuat
penganan-penganan kecil pesanan para tetangga sekaligus untuk keluarganya
sendiri. Sampai dzuhur tiba setelah itu ia membuat ketupat pun dengan jumlah
yang tidak sedikit. Ya, ia pun menerima pesanan ketupat kosong dari para
tetangganya. Maka jadilah hari itu ia super sibuk. Baru kemudian setalah sampai
waktu ashar ia selesai dan memulai ritual khususnya, menyetrika baju lebaran
dan mukenanya dengan setrikaan arang satu-satunya.
Mengenai kenapa
tidak sedari hari-hari kemarin saja Ina menyetrika baju dan mukenanya, itu masalah
lain. Ia ingat dengan kesunnahan pada hari lebaran untuk memakai baju yang
terbagus dan terbaik yang dimiliki. Sedangkan jika disetrika dari jauh-jauh
hari Ina takut garis-garis lekukan saat mukena dipakai akan terlihat jelas,
karena itu Ina bersikeras untuk menyetrika baju sehari sebelum lebaran meskipun
pada hari itu juga ia disibukkan dengan menyiapkan pesanan para tetangganya.
Dan hari itu adalah
sehari sebelum hari raya Idul Adha. Hari raya besar. Ina harus menyiapkan
semuanya dengan matang. Apalagi pada hari raya Idul Adha memang hanya ada sedikit
pesanan dari para tetangga. Maka Ina punya waktu panjang untuk melakukan ritual
khususnya itu.
“Maaak…!” suara Ina melengking memanggil
Emaknya. Wanita paruh baya itu seketika menghentikan pekerjaannya menjahit
pakaian.
“Setrikaanku mana?”
sulut Ina dengan bibir merengut. Setrikaan arangnya hilang lagi. “Dipinjam sama
Wak Dulah ndak? Lebaran kemarin dia
minjem ndak bilang-bilang.”
Emak yang ditanyai
belum bersuara. Diturunkannya kacamata yang nangkring di pangkal hidungnya.
Lalu tanpa mengalihkan pandangannya ke depan ia mengingat-ingat siapa yang baru
saja meminjam benda kesayangan Ina tersebut.
“Emak lupa ya?”
bibir Ina kini manyun.
“Sepertinya…”
kata-kata Emak menggantung. Emak hampir ingat siapa orang yang satu jam lewat
tadi meminta ijin padanya untuk meminjam setrikaan arang milik Ina. Emak ingat
suaranya bahkan Emak ingat ke mana orang itu kemudian membawa setrikaan arang
itu. Tapi…
“Yang meminjam
setrikaan tadi…” lagi-lagi tidak ketemu. Ingatan Emak mentok padahal sepertinya
nama orang itu sudah ada di ujung lidah.
Ina balik langkah.
Bibirnya tak berhenti manyun. Ia kecewa… sangat kecewa, tetapi bukan pada Emak
melainkan pada orang yang meminjam setrikaan itu. Semua tetangga dan kerabat
sudah pada tahu kalau Emak susah mengingat sesuatu, kenapa si peminjam tidak
bilang langsung pada Ina saja? Apa mereka tidak tahu bahwa setrikaan arang itu
adalah benda kesayangan satu-satunya. Apa mereka tidak tahu kalau setrikaan
arang itu membuat ia berpenampilan rapih, anggun, cantik dan yang paling utama
adalah melalui benda itu ia merasa bisa lebih dekat saat menghadap Allah dalam
sholatnya. Allah menyukai keindahan, karena itu Ina selalu mengusahakan rapi
saat sholat. Dan besok adalah hari besar hari raya Idul Adha.
Samar-samar Emak
melanjutkan jahitannya. Suara dedaunan diterpa angin kembali terdengar. Meja
yang sudah Ina siapkan untuk menyetrika dibiarkan saja. Baju dan mukenah yang
juga sudah ia siapkan terpaksa ia bawa lagi ke dalam kamar. Ina mengurung diri
di kamar.
Siang yang terik.
Panas dan kering. Sesekali angin menyerbu membuat ribut daun-daun pohon mangga
di depan rumah Ina. Di atas genting belakang rumahnya -hanya bagian ini yang
selalu Ina pakai untuk menjemur arangnya- bongkahan-bongkahan hitam dengan
berbagai macam ukuran itu nampak hitam pekat dan kering.
***
Ina tergeregap. Ia
ketiduran dalam kamarnya. Cepat-cepat ia keluar dan melihat jam dinding.
Setengah lima sore dan ia belum sholat ashar.
“Emak kenapa ndak bangunin Ina waktu ashar tadi?” tanya
Ina saat berjalan melewati emak yang masih di depan mesin jahit, sambil
nyelonong menuju tempat wudhu.
“Emak lupa, Ina,”
kata Emak sambil menghentikan pekerjaannya. Ia kini berdiri dan beranjak
menyusul Ina. Emak juga baru ingat kalau ia sendiri belum sholat ashar.
Seusai sholat dan
merapikan mukena, Ina membantu merapikan jahitan-jahitan Emak. Benang yang
ditaruh sembarangan, jarum yang dikeluarkan dari tempatnya dan lupa dimasukkan
lagi dan celana milik tetangga yang baru saja diselesaikan tapi tergeletak
begitu saja di kursi. Pasti diduduki sama
Emak, pikir Ina. Dan ketika ia hendak kembali menuju kamar dan melewati
ruang tanmu…,
“Nah…, ini setrikaan
arangnya sudah kembali. Emak tahu gak siapa yang balikin?” Emak dari dalam
kamar keluar. Melihat setrikaan itu dan beralih memperhatikan raut muka anak
bungsunya.
“Tadi Emak tahu waktu
setrikaan arang ini dikembalikan. Tapi Emak ndak
melihat wajahnya.”
“Jadi…?”
“Emak ndak tahu.”
Hampir saja bibir
Ina kembali manyun, untungnya benda kesayangan itu sudah berada dalam
genggamannya kembali.
“Yo wis, yang
penting benda ini sudah kembali toh,” kata Ina sambil menuju kamar untuk
mengambil baju lebarannya. Senyum Emak terkembang.
Beberapa menit
kemudian Ina sudah disibukkan dengan kipas dan arang. Asap yang mengepul
semakin lama semakin sedikit. Arang dalam setrikaan membara merah menyala.
CKLEK..!
Ina mengunci bukaan
setrikaan arang. Lalu dimulailah ritual khususnya itu. Senyum Ina merekah
seketika. Mulutnya kini mulai bertakbir. Pada hari raya Idul Adha disunnahkan
bertakbir mulai dari ba’da sholat ashar.
***
Takbir kini menggema
ke seantero langit melalui pengeras suara dari beberapa masjid dan musalla.
Hati setiap muslim akan tersentuh untuk ikut mengagungkan nama Allah di malam
itu. Semua bahagia menyambut hari raya. Pun langit kini terlihat begitu cerah
tanpa segumpal awan terlihat. Langit bening meski hanya beberapa bintang yang
nampak.
Baru saja Ina
menyelesaikan sholat isyanya mendadak pintu rumah terdengar ada yang mengetuk.
“Assalamu’alaikum…!”
“Wa’alaikum salam,” sahut Ina dari dalam.
Lantas ia melangkah menuju pintu untuk membukanya.
“Pak Didi? Eh…,
silakan masuk Pak.”
Pak Didi tersenyum
menanggapi sambutan Ina. Ia melangkah masuk duduk bersama lelaki di sebelahnya.
Ina belum sempat
memperhatikan lelaki yang bersama Pak Didi. Ina keburu ke belakang dan
menyiapkan minuman untuk tamunya tersebut setelah mempersilakan duduk dan
meminta untuk menunggu sebentar. Emak keluar dari kamar dan turut menyambut
tamunya.
“Jadi begini, Mak.
Keponakan saya ini mau memberikan sesuatu pada Emak. Ia ingin dari apa yang ia dapatkan ada
sebagian yang disedekahkan pada orang yang tepat,” begitu papar Pak Didi
setelah basa-basi dengan Emak di ruang tamu.
Pak Didi menyodorkan
amplop putih kepada Emak. Emak menerima pemberian itu. Setiap malam lebaran Pak
Didi memang selalu memberikan sesuatu pada Emak. Seperti malam itu. Jadi Emak
pun sudah terbiasa dengan pemberian itu sampai-sampai hubungan Pak Didi dengan
Emak seperti keluarga sendiri.
“Ini minumannya Pak
Didi! Maaf agak lama,” kata Ina sambil menaruh cangkir di depan kedua tamunya.
“Oh… iya, terima
kasih. Dan terima kasih juga, Ina untuk setrikaan arangnya,” kata Pak Didi
tiba-tiba.
Ina melongo. Jadi
Pak Didi yang meminjam setrikaan arang?
“Kebetulan setrikaan
listrik yang saya punya rusak sedangkan kami perlu merapikan pakaian untuk
lebaran besok. Terutama pakaian Ikhsan.”
Ikhsan?,
seketika Ina seperti mengingat sesuatu yang begitu akrab dalam hidupnya.
“Lhoh…, kok bengong?
Apa sudah ndak kenal sama Ikhsan
lagi? Keponakan saya ini,” kata Pak Didi sambil menepuk bahu lelaki di
sebelahnya. “Kebetulan lebaran ini dia bisa pulang. Sudah 5 tahun di rantauan
tapi saat pertama tiba di sini yang ditanyain langsung kamu, Ina.”
“Apa kabar, Ina?”
sapa Ikhsan dengan senyum yang samar-samar Ina kenal.
Dan semakin lama Ina
mencoba mengingat wajah lelaki berkopiah hitam di depannya itu. Meski ada cambang
di bawah dagunya perlahan ia mulai mengenali lelaki itu. Ya, lelaki itu adalah
lelaki yang dulu ia kagumi. Lelaki yang sampai saat ini masih sering muncul
dalam mimpinya namun tak berani ia indahkan.
“Dan tadi siang itu,
saya meminjam setrikaan arang kamu ya untuk menyetrika baju lebaran Ikhsan,” kata-kata
Pak Didi membuyarkan ingatan Ina.
Ina mengangguk dan
tersenyum. Tapi cepat-cepat ia berusaha untuk bersikap wajar. Ia tidak ingin
luapan perasaannya karena lelaki yang selama ini diam-diam diidamkan ada di
depannya, terlihat oleh Pak Didi.
“Oh…, tidak apa-apa.
Pak. Sungguh tidak apa-apa kok. Lagian kalau memang Ikhsan memerlukannya ya
pasti saya pinjamkan.”
“Ya syukurlah kalau
begitu. Tapi ngomong-ngomong yang lebih butuh sebenarnya istri saya lhoo bukan
Ikhsan, kenapa yang diomongin Ikhsan?” goda Pak Didi kemudian tertawa.
Ikhsan di sebelahnya
tertawa malu-malu dan menyenggol lengan Pak Didi. Muka Ina malah mengkerut dan
tidak berani melihat muka kedua tamunya itu.
“Yo wis, kami pamit. Emak yang
sehat-sehat. Tolong do’akan kami juga. Kami pamit ya…” ujar Pak Didi sambil
berdiri.
Ina turut berdiri
namun masih menundukkan pandangannya. Perasaannya jadi tak menentu. Ternyata
Pak Didi bisa melihat perubahan sikapnya di depan Ikhsan padahal ia sudah
berusaha untuk bersikap sewajar mungkin.
Selepas kepergian
Pak Didi dan Ikhsan, Ina beranjak ke dalam kamarnya. Di situ ia meluapkan
perasaannya. Ia bahagia, senang, malu dan ada letupan-letupan kecil yang ia
rasakan memenuhi rongga hatinya, ia tak bisa menafsirkan perasaan apa itu. Ia
hanya merasa bahagia di tengah gema takbir yang terus berkumandang dan lenguhan
sapi milik tetangga yang akan dijadikan qurban besok.
“Ina, kata Ikhsan
besok dia mau ke sini lagi,” kata Emak dari balik pintu.
“Yang benar, Mak?”
“Iya. Kamu suka
lelaki itu, Na?”
Tak ada jawaban dari
Ina. Ia hanya tersenyum sumringah. Tingkahnya jadi seperti remaja yang baru
mengenal asmara.
Di balik pintu, Emak
ikut tersenyum lalu menggeleng-gelengkan kepalanya dan beranjak menuju kamar
pula.
***
*Cerpen ini pernah dimuat di Indo Suara edisi Mei 2016
Mau baca cerpen ini secara offline?
Mau baca cerpen ini secara offline?
Kamu bisa langsung download e-booknya di sini.