Senja menenggak ranumnya dengan perlahan di balik kaca
jendela bus yang aku tumpangi sore ini. Baru kali ini aku bisa lagi menikmati
indahmu, senja.
Aku pulang Bu, kataku dalam hati. Belum sempat aku membawa
buah tangan untuk ibu tercinta di rumah yang sudah lama tak kujumpai. Waktu
libur yang sempit membuatku tak sempat pulang ke rumah, tanah kelahiranku
sendiri. Meski jarak ke Cirebon tak begitu jauh namun bukan jarak yang menjadi
masalah utama. Bukankah waktu juga terkadang seakan benar-benar memusuhi kita.
Tanpa dirasa waktu selalu mencuri kelengahan kita dan berlari cepat. Maafkan aku Bu. baru setelah empat tahun ini
aku sempatkan kembali ke pangkuanmu lagi.
Aku masih ingat sekali saat keberangkatanku merantau ke Ibu
Kota. Engkau rela kesana kemari mencari pinjaman untuk peganganku selama satu
bulan pertama hidup di daerah orang. Semua saudara dekat kau datangi dan tanpa
peduli egomu sebagai wanita, kau meminta pinjaman pada mereka. Aku tak tega
melihatmu seperti itu Bu. Tak ingin aku melihat hal seperti itu lagi padamu.
“Jangan pernah tinggal sholat,
Cung[1].
Pergilah. Ibu tak bisa membantu kamu untuk memenuhi kebutuhan hidupmu.” Aku
masih ingat betul saat Ibu berkata demikian. “Ibu cuma bisa memberi do’a, Cung. Ibu dan Bapakmu tak bisa lagi
membantu hidup kamu. Hidup kamu ya kamu yang cari.”
“Iya Bu.” Aku selalu mendengar kata-kata Ibuku dengan seksama.
Ibuku yang selama empat tahun ini menjadi kenangan indah dalam mimpi-mimpi dan
halayanku saat menampung kesepian.
Kini senja memerah memperlihatkan tuanya. Sebentar lagi waktu
maghrib. Aku harus berniat jamak karena tak mungkin berhenti di
tengah jalan di antara waktu magrib
dan isya yang sempit.
“Cung bentar lagi maghrib lho. Ayo jangan malas-malasan. Ambil sarungnya.” Begitu engkau
selalu mengingatkanku. Mengangkatku untuk menjadi manusia yang tahu diri
sebagai makhluk.
Suara mobil menderu. Angin yang menelusup lewat jendela masih
saja mengusik rambutku.
“Mau pulang ke mana Mas?” tanya seorang Bapak yang duduk di
sebelahku.
Aku tergeragap. “Ke Cirebon Pak.”
“Cirebonnya di mana Mas? Aku juga punya sodara orang Cirebon lho.”
“Di Palimanan Pak.”
“Ooo Palimanan toh.
Jauh dong. Sodaraku tinggal di
Jagapura.”
Bapak itu mengambil botol minuman dari dalam tas, Kemudian
meminumnya.
“Minum Mas?”
“Iya Pak terimakasih.”
Bapak itu mengangguk-angguk. Lalu kembali diam. Hening. Hanya
suara mobil yang menderu. Langit sudah gelap. Lampu bus dimatikan. Sudah masuk
tol rupanya. Bapak di sebelahku terlihat memejamkan matanya dan bersandar.
Penumpang bus lainnya juga sepertinya tidur.
Pikiranku kembali mengenangmu.
“Ibu senang kalau melihat kamu bahagia Cung. Ibu sudah tua, jadi tak perlu apa-apa lagi. Tinggal kamu yang
harus berusaha. Yang luwes Cung kalau
kerja. Biar Mandor menyukai kerjamu.”
Aku mengerti mandor yang engkau maksud itu siapa. Engkau
hanya tahu atasan kerja kita disebut mandor. Tak peduli jika kita kerja di toko
atau di warung makan. Ahh Ibu. Kepolosanmu semakin membuat kasih sayangku
bertambah kepadamu. Begitu besar keinginanku untuk bisa membalas semua yang
telah kau perjuangkan untuk anakmu ini.
“Ini Bu aku bawain sirop buat Ibu.” Ibu memang suka sekali
penasaran ketika melihat iklan makanan di TV. Waktu itu dengan uang simpanan
aku ingin memberikan sirop untuk ibu karena ibu sangat penasaran dengan rasa
sirop yang diiklankan TV berkali-kali siang dan malam.
“Mmmm….” Ibu meminum sirop yang aku buatkan. “Ini sirop
kurang manis kok dibilang manis.”
Aku tersenyum mendengar pengakuan Ibu. “Sirop itu memang
manisnya kurang Bu, tapi aroma buahnya sangat terasa. Di TV juga bilangnya gitu
kan Bu.”
“Ya sudah besok-besok ora
usah beli Cung. Pasti mahal
padahal ora enak.”
Ibu selalu begitu. Hanya tahu kalau penganan itu enaknya
manis. Tak menghiraukan aroma atau bentuknya, yang penting manis. Pasti
dihabiskan sambil nyengir lalu bilang, enak,
enak Cung kapan-kapan beli ini lagi ya Cung.
Aku tersenyum sendiri mengingat kejadian itu. Tak terasa
empat jam sudah aku mengingatmu.
Jasamu Bu. Jasamu itu yang membuatku mengenangmu begitu
indah. Aku tahu Bu. Aku tahu engkau seringkali hanya makan sekali dalam sehari
hanya agar aku bisa makan tiga kali sehari. Aku tahu kau seringkali
meminta-minta pada tetangga untuk membeli obat saat aku sakit. Kau memang tak
pernah sanggup membiarkan anakmu ini dalam keadaan yang sengsara tapi kau
membiarkan dirimu sendiri terlindas demi anakmu ini. Dan engkau tak berhenti
sebelum mendapatkannya. Engkau begitu gigih membela anakmu ini. Hanya untukku
engkau sampai seperti itu. Aku tahu itu, Bu.
Segera kuusap pipiku yang tak terasa membasah mengenangmu.
Di luar hujan gerimis padahal tadi senja memesona sangat
cerah. Tempias air menampar-nampar kaca candela yang segera kututup. Hanya
gerimis kecil. Seolah tahu apa yang telah aku pikirkan. Perasaan yang mengembun
dalam hati, di terpa angin yang sedikit menghibur, aku terus mengenangmu.
“Arjawinangun…, ayo yang turun siap-siap,” teriak kondektur
bus di depan.
Sebentar lagi aku sampai. Aku tak sanggup membayangkan
bagaimana keadaanmu sekarang Ibu. Aku ingin tahu. Sehatkah engkau di sana? Aku
terus memikirkanmu, Bu. Menit-menit ini serasa semakin membuat hati ini
bergetar. Bergetar untuk segera memelukmu, merangkulmu, memandangmu dengan
penuh kasih sayangku, anakmu. Seorang anak yang ingin sekali membalas segala
jasa dan pengobananmu selama ini.
Aku merangsek ke depan untuk bersiap-siap turun. “Di depan
sana turun Pak.”
“Di depan rumah makan itu?”
“Ya.” Kupegang erat tas yang kubawa.
Akhirnya aku menginjak tanah kelahiranku kembali. Ku telusuri
jalan menuju rumahku. Banyak yang berubah. Rumahku sudah terlihat di depan.
Dengan lampu yang meremang.
“Assalamu’alaikum….”
“Wa’alaikum salam,”
suara dari dalam rumah menjawab. Itu engkau. Aku masih sangat kenal suaramu,
Ibu. Tidak tidurkah kau malam ini Bu? Benarkah prasangkaku, kau sedari tadi
sore menunggu kepulangan anakmu ini Bu?
Setelah kau buka pintu segera kuraih tanganmu dan kukecup
berkali-kali. Bahkan ingin sekali aku mencium kakimu tapi tanganmu segera
meraih pundakku agar cepat berdiri. Kutatap majah tuamu begitupun Engkau.
Engkau merabai wajahku yang mungkin sudah basah oleh genangan air mata untukmu.
Wajahmu sudah terlihat lebih banyak keriput Bu. Rambutmu pun semakin banyak
yang memutih. Saat itu kita hanya diam, merasai getaran yang begitu dalam dan
terjemahkan sebagai cinta melalui kangenku padamu selama ini.
“Ini kamu kan Cung?
Kamu baik-baik saja di sana kan Cung.”
“Iya Bu. Aku baik-baik saja. Aku kangen sekali sama Ibu,”
kujawab dengan bibir yang gemetar menahan isakan yang bergemuruh di dada. Cepat
kudekap tubuhmu. Begitu tulus do’a yang tiba-tiba mengalir dari bibirku.
“Allahummaghfirlii waliwaa lidayya
warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa.”
Untukmu,
Ibu
Yang
tak pernah lelah menyayangi anakmu ini.