Tabir Takdir[1]
Pikirannya
berkelebat sangat tidak menentu, kacau. Kenyataan yang baru saja didengar kedua telinga
membuatnya merasa menjadi manusia paling malang di dunia ini. Betapa tidak, dua
orang yang selama ini telah menjadi orang tuanya ternyata bukanlah orang tua
kandung yang sebenarnya. Ia kalut, ini seperti di sinetron saja. Tapi secara
jujur ia sendiri merasa aneh jika dengan tiba-tiba ia harus berasumsi bahwa
orang-orang yang selama ini ia kenal sebagai saudaranya bukanlah siapa-siapa
dalam hidupnya.
Ada
perasaan sayang dan nyaman yang kadung melekat dalam jiwanya, jika ternyata
kenyataan itu memang benar maka ia harus mencabut
perasaan itu dengan paksa dari jiwanya. Bisakah? Sekali lagi, ini bukanlah hal
yang mudah. Terlebih lagi jika ia kembali teringat betapa bahagianya kedua
orang tuanya itu saat ia sendiri selalu meraih prestasi terbaik di sekolahnya
dulu hingga di Universitas di mana ia belajar sekarang. Ia begitu dibanggakan,
ia juga merasa bahagia hidup di antara mereka seakan semua perasaannya selama
ini memang telah tertuang ke dalam sebuah muara, lebur menjadi satu.
“Mereka
mengambilmu secara paksa ketika kau masih bayi!” kata-kata pahit itu kembali
terngiang di kepalanya.
Bagaimana mungkin bisa terjadi seperti itu?
lalu apa yang dilakukan
orang tua kandungku waktu itu. Mereka tega membiarkanku?!
“Orang
tuamu hanyalah tukang gembala kambing milik orang lain. Dan ibumu penyabit
rumput untuk kambing-kambing itu. Kau tahu kalau kau mempunyai saudara sebanyak 15 orang? Ya,
karena alasan itulah kemudian kedua orang tuamu membiarkan mereka mengambilmu
meskipun kau anak lelaki satu-satunya.”
“Kalau
begitu orang tuaku mengijinkanku diambil oleh orang lain, bukan secara
terpaksa seperti katamu?” kata lelaki itu mencoba menolak semua ucapan lelaki
paruh baya di depannya.
“Mungkin
bisa dibilang tidak secara paksa jika orang yang mengambilmu tidak mengancam
akan menelantarkan seluruh keluargamu.”
Seakan
ada halilintar yang memekakkan telinganya saat itu. Kata-kata itu bohong!
Bahkan sampai
saat ini ia tidak ingin mempercayai kata-kata itu sama sekali. Semakin ia
menolak, semakin terasa getir dalam hatinya. Bukankah penolakan terhadap
kenyataan semakin menguatkan kenyataan itu sendiri.
Tapi kalau benar begitu kenapa selama ini
aku tidak mengetahui di mana keluargaku yang sebenarnya? Apakah orang tuaku
yang sekarang menyembunyikannya dariku?
“Mereka
membawamu ke tempat yang jauh setelah pengambilan itu dengan membayar semua
operasi yang dilakukan para dokter saat ibumu melahirkanmu. Seandainya waktu
itu kau masih ditangani oleh seorang dukun beranak di kampung mungkin nyawamu
tidak akan selamat, atau terlahir cacat pun sudah sangat menguntungkanmu.
Posisi tubuhmu sewaktu dalam kandungan sungsang. Itu sudah kondisi yang sulit
untuk dilahirkan apalagi saat tubuhmu mulai keluar hanya kaki kirimu yang
menyembul dari rahim ibumu. Denyut jantung ibumu melemah, sedangkan ayahmu
sendiri tidak bisa membubuhkan tanda tangan supaya operasi dijalankan. Kau dan
ibumu seakan berada di ambang maut. Saudara-saudaramu sendiri yang hampir
memenuhi lorong rumah sakit saat itu tidak bisa berbuat banyak. Mereka hanya
menunggu. Mereka tidak mengenal do’a dan munajat. Keluargamu itu... jauh dari agama.
“Sampai
Pak Juna, kerabat dari majikan ayahmu yang kebetulan ada di rumah sakit saat
itu menyatakan menanggung semua beban biaya operasi demi menyelamatkanmu dan tentu juga ibumu.”
“Pak Juna? Ayah?” matanya membelalak
tak percaya. Sosok yang ia kenal selama bertahun-tahun, ternyata mempunyai sisi
kelam yang tidak pernah ia ketahui bahkan tak terendus sama sekali olehnya.
Sampai
di situ ia sendiri merasa pusing untuk mendengar lebih jauh penuturan Pak
Mulyo, pamannya –bahkan ia mulai meragukan bahwa Pak Mulyo memang pamannya-. Ia
ingin marah mendengar semua itu. Tapi pada siapa? Orang tuanyakah? Dengan
keadaan serba terbatas waktu itu,
mungkinkah mereka bisa bertindak lebih untuk menyelamatkan nyawanya? Atau
kepada orang tua asuhnya selama inikah? Tapi bukankah karena mereka, ia dan ibu kandungnya berhasil
diselamatkan.
***
Kecamuk
dalam dadanya belumlah reda. Dengan sedikit keterangan yang dia dapat dari Pak
Mulyo akhirnya ia bisa menemukan rumah itu. Rumah gubuk dengan penghuni yang
penuh sesak. Dan kedua orang yang kini sudah tua renta, duduk di
depannya.
Ada
bening air mata yang sangat perlahan meleleh dari kedua sudut mata ibu kandungnya. Dilihatnya dengan
seksama gurat wajah tua di depannya. Cokelat dengan gurat yang menyerupai tanah
retak saat musim kemarau. Dan bau tanah yang sesekali terbauhi terbawa angin
menerpa indera penciumannya. Juga rambut tipis berwarna abu-abu yang
bergoyang-goyang diterpa angin laksana alang-alang yang meranggas saat
kekeringan.
Tak
ada kata yang keluar dari mulut kedua orang tuanya selama beberapa menit. Namun dari tatapan
keduanya, ia tahu ada rindu yang memuncak dan terbuncah secara
mendadak yang tertuju padanya.
“Maafkan
kami kalau menurutmu kami yang salah, Nak,” ayahnya berkata lirih. Giginya yang
sudah hampir tanggal semua membuat kata-kata itu tereja sedikit meleset.
“Bukan
Bapak ataupun Ibu yang salah. Aku hanya masih belum bisa menerima kalau Pak
Juna tega mengambilku dari
Bapak dan Ibu.”
Seketika
kedua orang tua itu saling menatap mendengar penuturan anak lelaki mereka satu-satunya itu.
Seakan ada sebuah pertanyaan atau lebih tepatnya pernyataan akan sesuatu yang
seharusnya tersampaikan namun tertunda.
“Jadi
kau belum tahu alasan itu?” kali ini Ibu yang bertanya padanya.
Ia
menggeleng. “Tidak, Bu.”
“Pak
Juna…, istrinya waktu itu telah delapan kali keguguran, Nak.”
Mata
lelaki itu terbelalak. Ia tidak salah dengar. Kata-kata ibunya jelas mengatakan
kalau istri Pak Juna atau Ibu asuhnya selama ini telah keguguran sebanyak
delapan kali.
“Ada
rasa iba yang kami rasakan melihat nasibnya, Nak. Di sisi lain, kami ingin
berterima kasih padanya walaupun
kelahiranmu sangat kami nanti-natikan.”
Hanya
itu penjelasan terakhir yang ia terima untuk memperjelas benang ruwet yang membebat
pikirannya beberapa hari.
Namun sebegitu jelas ia mendengar kenyataan, ia merasa belum siap untuk
menerimanya. Apa mereka menganggap ini hanya permainan? Yang dengan mudah
menganggap hal besar menjadi sesuatu yang sederhana sesederhana mereka
memutuskan untuk melepaskan
aku pada Pak Juna?
Ia
ingin bersimpuh di telapak kaki kedua orang tuanya namun entah kenapa niat itu
runtuh seketika setelah ia mendengar penjelasan itu. Ia merasa tidak berharga,
sama sekali tidak.
Tiga menit kemudian ia
beranjak pulang setelah sebelumnya menyalami kedua orang tua kandungnya namun
merasa enggan untuk mencium kedua tangan mereka. Entah sikap apa yang akan ia
ambil nanti. Hanya saja merasa menjadi
orang yang tidak berharga adalah kenyataan paling pahit yang pernah ia rasakan
selama hidupnya.
*Selesai*
idenya bagus mas. tapi menurutku ada detail2 yang bikin cerita ini agak janggal. kalau memang orangtua kandungnya laki2 itu miskin kenapa bisa punya anak sampai 16 orang? kalau alasannya engga sanggup ikut program kb bukankah membesarkan anak jauh lebih banyak menguras dana? lagipula orangtua kandungnya juga bilang kalau kelahirannya sangat dinanti2kan. seolah kelahiran itu memang di sengaja.
BalasHapuslalu sebelumnya kan di awal cerita ada dialog dan narasi yang menegaskan kalau dia diambil secara paksa oleh pak juna. tapi kenapa dia masih bertanya dalam hati "mengapa selama ini dia tidak tahu mana keluarga yang sebenarnya? dan apakah pak juna menyembunyikan itu darinya?"
bukankah kalau memang seorang anak di ambil secara paksa, sudah pasti dia akan dijauhkan dari keluarga asalnya?
Itu aku sengaja saudara tokoh utama sebanyak 16 orang yang kesemuanya perempuan karena itu kelahiran tokoh utama sangat dinanti-nantikan -meskipun sebenarnya setiap kelahiran selalu dinantikanoleh mereka karena mengharapkan seorang anak lelaki-. nahh soal kenapa sampai bisa 16 anak adalah hal yang sebenarnya memang ada namun jarang sekali diperhatikan. aku juga sengaja dibikin seperti ini karena untuk menguatkan konflik..
BalasHapussebenarnya dialog batin itu hal yang kecil, dan kamu memang sangat teliti., hihihi thank's masukannya...
tapi kenapa sampai ada pertanyaan seperti itu dalam diri tokoh utama adalah karena Pak Juna yang dikenal oleh tokoh utama adalah sosok yang bisa dibilang hampir sempurna dengan kebaikan dan kasih sayang dia ke tokoh utama, nahh karena tokoh utama yang tidak begitu percaya dengan ucapan pamannya itulah akhirnya timbul pertanyaan itu dalam hatinya..
next bisa jadi karena penjelasannya masih kurang pas, jadi akan saya revisi lagi, makasi banyak :D