Suatu saat...
Hari libur. Badan masih capek setelah beres-beres
rumah. Dan akhirnya direbahkanlah tubuh yang lelah ini ke atas kasur. Zawjatiy
tercinta rupanya lagi bahagia entah karena apa. Dia raba rambutku. Terus ke
dahi, hidung, pipi, dagu. Lalu ia genggam tanganku.
"Mas...!"
Setengah sadar aku pun menjawab, "Hmm..."
"Kalau dipikir-pikir ya, kok hidup ini penuh
kejutan."
Jeda. Aku masih setengah sadar. Sedangkan Zawjatiy masih
memperhatikan jemari tanganku yang dipegang dan dirabanya.
"Adik ndak
nyangka lho Mas kalau imam adik itu Mas. Kan dulu kita cuma kenal nama.
Boro-boro ngobrol. Ketemu di jalan saja sungkan menegur. Iya ndak Mas?”
Karena tak ada jawaban, Zawjatiy menggoyang-goyangkan badanku sehingga kesadaranku dari tidur kembali.
Karena tak ada jawaban, Zawjatiy menggoyang-goyangkan badanku sehingga kesadaranku dari tidur kembali.
“Mas...!”
“Hmm....”
“Mas ndak dengerin ya?”
“Dengerin kok, Dik.”
Zawjatiy percaya. Dia lanjut bicara, “Mas nyangka ndak
kalau yang jadi pendamping hidup Mas itu Adik ini?”
“Ndak...”
“Tuh kan berarti sama. Adik juga benar-benar ndak
nyangka, Mas.”
“Ndak nyangka kalau sekarang lagi enak tidur malah
diganggu sama Adik.”
Zawjatiy kesel. Langsung dihempaskannya jemariku yang
tadi dia genggam. “Ih Mas mah gitu. Gak tahu orang lagi seneng malah bikin
kesel. Mas ndak suka ya?”
“Iya.”
“Ih jahat...!”
“Biarin.”
“Jahaaaaaaaat...,” umpatnya sambil memukul mukaku
dengan bantal.
“Jahat tapi sayang,” jawabku sambil menangkap kedua
tangannya.
Tinju bantalnya berhenti. Dan..........................