Sore
yang riuh pada sebuah kota yang menjadi barometer kesuksesan seperti utara
untuk mata angin. Jakarta. Sekumpulan orang lebih dari lima puluh sedang
berkumpul dalam ruangan dan mendiskusikan sebuah teather. Oh..., mereka berteather
untuk teather orang lain. Barangkali penguasanya. Barangkali pejabat yang
pandai memakai topeng. Atau barangkali cecurut yang mengais-ngais sisa makanan
dan apa saja di tiap sudut kota yang dijadikan tong sampah, meski sangat tidak
tepat dikatakan seperti itu karena saking banyaknya sampah yang luber sampai ke
jalan. Ya, cecurut dan kawanannya sungguh kelihatan makmur hidup di kota besar
itu sehingga tubuhnya pun gemuk-menggemuk.
“Palsu! Palsu! Itu tuh palsu...!” teriak salah seorang di antara
mereka.
Seorang lain melanjutkan. Bahkan
dengan mimik yang sangat sesuai dengan tokoh yang dia mainkan. Setelah dia
selesai dilanjutkan lagi dengan temannya.
“Jaran! Jare jaran...!” seorang gadis memeragakan perannya dan
diperhatikan semua orang di dalam ruangan itu. Lagaknya mantap layaknya seorang
ibu-ibu dengan emosi yang tertindas oleh keadaan ekonomi sehingga setiap
omongannya asal loncat seperti kuda liar. Dan peran gadis itu nampaknya menjadi
ibu-ibu yang kasar, menantang dan tak urus.
Di luar gedung, kendaraan
sambung menyambung. Klakson kopaja yang menyemprot angkot di depannya terdengar
lantang. Umpatan pejalan kaki yang hampir diserempet pengendara motor di
trotoar. Dan umpatan-umpatan kasar yang dipakai untuk candaan oleh sekumpulan
pengamen di ujung gang, turut ambil peran dalam komposisi kelengkapan kota
besar.
Latihan teather itu berlanjut. Om
instruktur atau barangkali dia juga yang menjadi kepala utama dalam teather itu
memotong latihan dan sedikit memberikan koreksi supaya teather yang akan
dibawakan tidak melenceng dari tujuan utama. Rambut pendeknya yang sudah
abu-abu lepek bercampur sisa air wudhu. Kulit wajah dan tangannya yang sudah
mulai keriput dan kering tidak begitu terlihat dari kejauhan. Kondisi yang
hampir sama juga terlihat pada seorang perempuan yang duduk tak jauh dari om
instruktur. Hanya rambutnya lebih hitam dari Om instruktur.
“Burung! Tahu burung? Burung yang hinggap di cantolan. Yang cantolannya
tidak kuat dibuat sebagai pegangannya,” salah seorang memainkan perannya
dengan begitu antusias. Suaranya keras dan lantang hingga terdengar dari luar
ruangan.
Seorang pedagang minuman tak
jauh dari ruangan itu seketika melirik ke dalam ruangan, penasaran.
“Ada apa?” tanya tukang ojek
yang mampir meminjam korek api.
“Mungkin latihan.”
“Hmm...” jawab tukang ojek
dengan rokok yang masih menyumpal di mulutnya. Kemudian tanpa mengucapkan
terima kasih ditaruhnya korek api di atas box minuman. Si pedagang minuman
mengambil dan memasukkannya kembali ke dalam kantong.
Monolog dan peran terakhir telah
dimainkan. Om instruktur merasa cukup dengan latihan sore itu. Beberapa pemain
berkasak-kusuk dengan koreksi yang diberikan selama latihan. Pikiran mereka
nampaknya agak bingung dengan perannya nanti malam.
“Kali ini pertunjukkan yang akan
kita bawakan sedikit berbeda. Saya harap kalian bisa membawakannya dengan
yakin. Ini bukan teather. Jadikan peran itu adalah diri kalian sendiri,” kata om instruktur mengakhiri.
Latihan teather untuk teather itu
pun diakhiri.
***
Malam
dihempaskan keriuhan kendaraan dan pedagang-pedagang di sepanjang jalan Cikini
Raya. Lentera-lentera yang dipasang sepanjang jalan menuju panggung utama telah
dinyalakan. Pelataran parkir Taman Ismail marzuki kembali dipenuhi mobil-mobil
manusia-manusia penyuka seni dan pegiat seni.
Semua pemain sudah berbaris.
Instruksi terakhir diingatkan kembali oleh Om instruktur. Pakaian mereka kini
serempak berwarna kuning. Dengan tali temali yang mengikat kaki kanan dan kiri,
tangan di kanan dan kiri pula dan di badan mereka. Entah apa maksudnya. Wajah-wajah
mereka memakai topeng sehingga muka dan identitas yang menempel di wajah mereka
jadi abu-abu, menjadi tersamarkan. Ahh..., memang seperti itu tujuan teather.
Pemain harus menjadi orang lain yang berada di luar dirinya. Sekaligus
menjadikan orang lain yang berada di luar dirinya menyatu bersama dirinya yang
men-diri.
Rombongan teather itu berjalan.
Alunan musik dari kendang kompang, bonang, gong dan kecik racik-meracik dalam
keramaian rombongan. Lelakon telah dipentaskan. Seketika itu juga para pedagang,
pejalan kaki, pengunjung yang kebetulan berpapasan dan pelanggan warung-warung
pinggir jalan menaruh perhatian pada gerombolan berbusana kuning dengan tali
ikat-mengikat itu.
“Jaman saiki jamane fafitnah-fitnah. Dadi..., baka ana deleng ya kudu
dideleng. Baka ana rungu ya kudu dirungu. Baka ana kang mumplu ya..., kudu
didulit.”
Seorang pemain memulai perannya
dengan mantap. Semua telinga yang menyaksikan dipertajam untuk menangkap apa
yang akan dibicarakan dalam peran-peran mereka.
“Sapa-sapa
kang lagi ning duwur kudu bisa andap asor!”
Satu-persatu peran dimainkan dan
penonton di pinggiran jalan itu semakin banyak. Ada yang ikut duduk santai di
samping kerumunan pemain. Ada yang mencoba mengabadikan pertunjukan singkat itu
dengan kamera di ponsel layar sentuh. Ada pula yang merasa sejenak bisa lepas
dari kepenatan sepanjang hari dengan adanya pertunjukkan itu.
“Baka bukae baka-baka, bukue baka baku. Baka baku buka, bakae..., hiiiii”
seorang pemain merasa ngeri dengan apa yang dimainkannya sendiri. “Baka baku buka, bakae..., bakae..., bakae
buka-buka pupue.”
“Hah???” seorang pemain lagi melotot pada lelaki yang baru saja
bermonolog. “Buka-buka pupue? Buka-buka
pupue?”
Monolog demi monolog sambung
menyambung menyampaikan pesannya melalui telinga-telinga awam. Dengan do’a yang
terselip dalam tiap monolog, barangkali ada di antara yang menyaksikan
seseorang yang bisa menyambungkan pesan itu. Meski entah untuk sesiapa.
Kurang dari satu jam kemudian
mereka kembali berjalan. Sebagian pengunjung yang menyaksikan lakon itu masih
bertanya-tanya dan mencoba mencerna apa yang baru saja ia saksikan di depan
matanya. Sebagian lain masa bodoh dengan yang baru saja terjadi. Sebagian lagi
membuntuti rombongan itu menuju panggung utama festival seni di Taman Ismail
Marzuki.
Riuh rendah suara musik dan
sahut menyahut dari mereka terus terdengar dari kejauhan. Hingga sampailah
mereka di panggung utama. Kedatangan mereka menggantikan pementasan musik
tradisional di atas panggung. Semua mata pengunjung merasa disajikan sesuatu
yang sedikit berbeda.
Seketika musik berhenti. Hanya
bunyi kening yang membumbui adegan teather. Seorang pemain menaiki panggung dan
bermonolog. Disambung yang lainnya.
Berteriak lantang. Membentak.
Membusungkan dada. Menuding-nuding dengan begitu sengaknya. Tak peduli siapa
yang melihat, siapa yang mendengar atau siapa pula yang akan memikirkannya
lebih jauh.
“Sabar ikuh langit! Langit ikuh langsing lan legit!”
Huru-hara dalam teather semakin
gaduh. Semua pemain menampilkan perannya total. Mereka sampaikan apa yang harus
mereka sampaikan. Mereka perankan siapa yang harus mereka perankan. Suasana
semakin hening ketika salah seorang bermonolog begitu lantang.
“Asstaghfirullohal’adzim.... kula nyuwun agungipun pangapura.... Wong
edan! Wong eddaaaaan! Ari wong edan kuh bli waras...,” salah satu monolog
penutup teather itupun dimainkan. Lelakon telah selesai. Pesan mereka telah
disampaikan meski entah melalui siapa dan untuk sesiapa.
Kemudian mereka kembali berbaris
berjalan menjauhi panggung. Meninggalkan penyamaran dengan topeng diantara
penonton.
Barangkali memang tak perlu
memastikan apakah sebuah pesan sampai pada yang tertuju. Barangkali memang
cukup susah memainkan teather untuk sebuah teather. Apalagi ini hanya sebuah ngomong ayam.
***
Untuk sebuah kebersamaan di tempo hari.
Guanyin, 24 Februari 2016
Catatan:
Semua
monolog teather dalam cerpen ini dikutip dari monolog Ngomong Ayam karya Embie
C. Noer.
Download E-book cerpen ini di sini.
Download E-book cerpen ini di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar