Nasib memang tidak bisa
kita pilih, sodara. Kita ingin hidupnya sederhana saja, yang penting sehat
semua. Eh ladalah, tiba-tiba kok kebutuhan serasa mepet. Apa-apa serba
kecemped. Ya mau gak mau jadinya cari hutang. Sekali dua kali dapet, ke
sononya? Mau bayar hutang saja masih tanda tanya, ini malah harus cari hutang
lagi. Oh endonesia.
Pada akhirnya ada saja
yang nyaranin ke luar negri. Ada juga yang bilang di’ekspor’ demi memperbaiki
ekonomi keluarga. Masalah ekonomi memang selalu rasanya menyengat.
Sampai-sampai bikin lupa itu masalah akidah gimana.
Berangkatlah akhirnya ke
sebuah PT yang memberikan jasa pelayanan pemberangkatan tenaga kerja endonesia
ke luar negeri. Apa lagi kalau bukan jadi PRT alias pekerja rumah tangga. Yang
laki-laki ya jadi buruh pabrik, seperti saya ini. Jangan dikira yang laki-laki
sedikit. Nyatanya di sini jumlah laki-laki tak kalah banyak dengan perempuan. 2
banding 3 euy.
Setelah sampai di negeri
orang yang asing bahasa asing budaya, saya sendiri mengalami posisi sebagai
orang oon. Planga-plongo, Sodara. Lhah gimana bisa tidak oon kalau untuk
ngomong saja terpaksa pakai bahasa isyarat. Bahsa isyarat pun lebih banyak
salahnya daripada benernya. Orang sini ngasih isyarat supaya ke situ ngerjain
anu, eh sayanya malah ke sana ngerjain apa. Jadi tergeser deh itu tujuan
memikirkan sanak keluarga dengan masalah himpitan ekonominya.
Memangnya waktu di PT gak
diajarin? Sama sekali tidak. Kalau perempuan yang jadi calon PRT memang belajar
bahasa ibu dari negara yang bakalan ditempati. Setiap pagi mengahafalkan kata
demi kata. Ada gurunya juga yang mengajari pelafalan tiap hurufnya. Dan karena
yang belajar seabreg, alhasil sekali belajar langsung coba dipraktekkan. So,
rata-rata PRT dari endonesia sudah bisa bahasa sini. Setidaknya, presentase
kesalahpahaman antara majikan dan pekerja sangat sedikit. Tidak seperti buruh
pabrik laki-laki.
Ke’oon’an mengenai bahasa
ini ternyata dialami oleh semua pekerja laki-laki yang baru pertama kali
di’ekspor’. Ngenes memang. Untungnya selalu ada teman yang sudah eks: istilah
untuk pekerja yang sudah selesai kontrak kemudian berangkat lagi. Jadi untuk
urusan bahasa isyarat ini seringkali terbantukan oleh teman eks. Ada beberapa
orang sini yang bertahan dengan bahasa isyarat untuk memberikan instruksi pada
pekerja pemula. Ada juga yang malas memberikan isyarat dan memilih memanggil
teman eks untuk membantu menerjemahkan omongan mereka.
Lhoh bukannya di sini
dibantu penerjemah dari pihak Agency? Memang dibantu. Di hari pertama saya
datang, penerjemah ini membantu menerangkan peraturan kerja di Taiwan dari awal
sampai akhir. Dan membantu menerangkan peraturan dan kontrak kerja di pabrik
yang ditempati. Di hari pertama sampai 5 hari selanjutnya juga dibantu
menjelaskan mengenai pekerjaan yang ditangani masing-masing pekerja. Selesai
itu, kita dilepas begitu saja dan langsung kerja. Begini-begini juga kita-kita
sudah besar lho. Tapi ya itu, walaupun kehidupan kita di sini dibantu agency,
tapi sebatas hal-hal resmi dan urgent. Masalah sehari-hari ya tetep kita
sendiri yang harus berusaha mati-matian menyesuaikan diri.
Ada yang sekolah bahasa,
ada yang belajar dari youtube, ada juga yang santai saja. Tapi eh tapi, itu
yang sekolah bahasa ternyata dipusingkan dengan belajar tulisan sininya,
sodara. Jadi biarpun dikatakan sekolah bahasa sini, tapi yang dipelajari adalah
tulisan sininya bukan kata-kata di sininya. Konon itu pelajaran kosa kata
adanya di tahun sekian setelah para siswa sudah mahir menulis dan membaca
bahasa sini. Sama saja dong, kita-kita harus berpikir ekstra untuk bisa
memahami bahasa sini. Tapi gimana mau berpikir ekstra coba, lha wong kerja di
sini saja menguras tenaga, pikiran, waktu, perhatian dan lain sebagainya. Belum
lagi keinginan untuk menikmati hasil keringat sendiri dengan belanja
barang-barang wah. Ya tidak wah-wah juga sih. Tapi setidaknya bisa mencicipi
satu dua barang bermerk. Atau rekreasi ke taman bunga. Iya, taman bunga yang di
Endonesia bisa dihitung dengan jari padahal negara luas dan besar. Eh ada gak
ya itu taman bunga?
Alon-alon asal kelakon
lah. Biarpun bahasa tidak dikuasai benar, nyatanya banyak juga pekerja yang
terus bertahan sampai kontrak kerja selesai. Seperti saya ini, sudah hampir dua
tahun tapi kalau diajak ngomong sama orang sini masih mlongo aja. Cuma bisa
jawab satu dua.
Nulis ini saya jadi ingat
ketika suatu kali seorang teman bertanya mengenai kerja di sini. Katanya, dia
juga ada keinginan kerja di sini demi apa lagi kalau bukan demi masa depan
ekonomi. Lantas pesan yang pertama kali saya sampaikan adalah pelajari bahasa
sini sedari masih di situ. Supaya tidak terlalu kesusahan sampai di sini. Cukup
saya saja yang mengalaminya, sodara.
Guanyin, 280617
Guanyin, 280617