Oleh: Ade Junita
Judul buku : Sayap-Sayap Sakinah
Penulis : Afifah Afra &
Riawani Elyta
Penerbit :
Indiva
Tahun terbit : Cetakan Pertama Ramadhan 1435 H/Juli 2014
Tebal :
248 halaman
Dimensi :
19 cm x 13 cm
ISBN :
978-602-1614-22-8
Harga
buku : Rp 35.000
Jodoh?
Siapa sih yang gak pengen cepat-cepat
ketemu jodoh? Sampai-sampai berbagai usaha dari yang mudah sampai yang susah
dilakukan untuk menemukan jodoh.
Hanya saja kebiasaan
masyarakat kita mengenai jodoh masih perlu diluruskan lagi. Budaya pacaran yang
dikatakan sebagai ajang penjajakan dalam mencari jodoh nyatanya belum dipandang
oleh masyarakat muslim sebagai hal yang keliru. Terlebih lagi bagaimana cara
Islam dalam mengatur urusan perjodohan ini masih jauh dari jangkauan masyarakat
muslim pada umunya -meski di luar sana sudah banyak pula yang memahami dan
mengamalkannya-.
Yupp…, di buku ini
semua itu akan dibahas tuntas dengan manis oleh Afifah Afra dan Riawani Elyta. Diawali
dengan puisi Mba Afifah Afra yang indah:
Kita
adalah sepasang sayap
DiciptakanNya
untuk mengangkasa
Susuri
hidup penuh dinamika (hlm. 5)
Kita akan diantar pada pemahaman baru
mengenai jodoh dan pernikahan serta seluk beluk pernikahan yang sesuai dengan syari’at Islam.
Dengan bahasa yang
segar dan ringan, buku ini seakan membawa pembaca untuk menyelami kembali arti
sebenarnya dari kata cinta, jodoh, nikah dan akad. Jika selama ini persepsi
kita tentang cinta adalah menyukai lawan jenis saja, maka lewat buku ini kita
akan tahu cinta terbagi menjadi banyak bentuk (hlm. 52). Tidak cukup sampai di
situ, di buku ini kamu juga akan menemukan teori-teori ilmiah dan kisah-kisah
inspiratif yang akan membuat kamu lebih memahami diri kamu. Seperti teori Triangular Theory of Love dari Psikolog
Robert Stenberg dan kisah dialog Plato dan gurunya, Socrates. Atau kisah cinta
Afifah Afra dan Riawani Elyta, penulis bukunya sendiri.
Jika selama ini kita
menanti jodoh dengan memperbanyak kenalan dan pedekate pada beberapa orang, maka di buku ini kita akan tahu bahwa
jodoh terbaik perlu ada perencanaan. Jika selama ini kita menginginkan jodoh
yang ideal tanpa memikirkan bagaimana mendapatkannya, kita akan disodorkan
pertanyaan: “Sudahkah diri ini pantas menjadi calon pasangan hidup dari seorang
pria/wanita yang ideal?”
Jika nikah yang kita tahu
adalah serangkaian acara resmi dengan akad dan resepsi, maka kita akan diberi
pemahaman baru mengenai nikah. Bahwa rukun yang pokok dalam pernikahan adalah
keridhaan laki-laki dan perempuan serta persetujuan antara keduanya untuk
mengikat hidup berkeluarga[1].
(Hlm. 99)
Jika akad yang kita
tahu adalah serangkaian janji yang diucapkan di depan penghulu, maka di buku
ini kita akan tahu bahwa akad adalah perjanjian yang berat, kokoh juga agung.
Saking agungnya akad atau perjanjian ini disamakan dengan peristiwa dahsyat di
mana Allah mengangkat bukit Thursina untuk mengambil perjanjian dan sumpah
setia dari Bani Israil dalam memurnikan ketaatan dan kepatuhan padaNya[2] (Hlm.
145).
Ada kalanya jodoh yang
kita nanti-nantikan ternyata belum datang juga padahal usia kita sudah hampir
kepala tiga. Was was pastinya. Jika sudah begitu, nampaknya kita perlu
diingatkan kembali bahwa jodoh datang di waktu yang sangat tepat. Jadi, pada
umur berapapun akhirnya kita menemukan jodoh (meski di usia yang menurut
kebanyakan orang sudah tua) maka pada umur itulah kita telah pantas mendapatkan
jodoh. Tidak pernah ada jodoh yang datang telat ataupun lebih dulu dari saat
‘tepat’ itu.
Saat membaca buku ini,
kita diajak merenungi kembali makna pernikahan. Bahkan pembaca diajak
mengantisipasi hal-hal kecil yang seringkali tidak terpikirkan namun sering
menjadi kerikil tajam saat berumah tangga. Mengenai lika-liku pengenalan
karakter pendamping hidup kita. Ketika karakter idaman yang sempat kita
bayangkan dulu ternyata hampir tidak ada yang cocok dengan karakter pasangan
hidup kita saat sudah menikah. Ketika karakter dari pasangan hidup kita
ternyata jauh dari perkiraan kita. Maka Mba Afifah Afra memberikan kalimat
berikut:
Di
sinilah perlunya sikap bijak dalam memandang persoalan. Kekurangan mana yang
harus disikapi dengan penerimaan, dan kekurangan mana yang sekiranya masih bisa
disarankan untuk diubah. (Hlm. 192)
Pada halaman-halaman
terakhir kita akan menemukan bab ‘Sepasang Sendal Menuju Surga’. Bahwa ternyata
sepasang suami istri itu layaknya sepasang sandal, yang meskipun ukuran, warna,
model dan merknya sama tapi antara keduanya tetap memiliki peran masing-masing
yang tidak bisa ditukar. Sendal sebelah kanan tetap menjadi bagian kanan,
begitupun sebaliknya.
Meski masih ada sedikit
kesalahan dalam pengetikan di beberapa halaman namun tidak menghalangi hikmah
yang bisa kita ambil seusai membaca buku ini. Apalagi adanya kalimat-kalimat indah
yang bertebaran dalam buku ini turut menjadi motivasi tersendiri bagi kita saat
ini maupun di masa depan nanti. Seperti berikut ini:
-
“Dan saat dia memegang telapak tangan
istrinya maka dosa-dosa kedua insan itu akan berjatuhan di sela-sela
jemarinya.” H.R. Maisarah bin Ali dan Imam Ar-Rafi’I (hlm 102)
-
Adakah yang lebih indah dari sebuah
proses yang dalam setiap detik dan sentuhannya terdapat percikan rahmat dan
keridhaan dari sang Maha Pengasih? (hlm 110)
-
Bahkan bumi yang luas ini pun tak mampu
menjadi rumah yang sempurna untuk semua cinta. (hlm 116)
Dan terakhir, mengutip
kata pengantar dalam buku ini: Semoga tak
sekedar kesegaran yang akan Anda
dapatkan dalam buku ini, tetapi juga
pemahaman dan semangat yang terbarui.
Palimanan, 29 September 2015