Kejadiannya sore,
menjelang maghrib. Saya sendiri sudah ketar-ketir untuk bersiap-siap
menjalankan ibadah wajib itu. Sampai tiba-tiba ada dua anak smp -perempuan-
yang minta dibantu untuk mengerjakan tugas. Seingat saya, kedua anak itu sudah
bermain internet sekita dua jam. Menurut pengakuannya, mereka memang
mengerjakan tugas namun komputer mati dan tugas yang dikerjakan dengan susah
payah itu terpaksa terhapus.
Sebelum itu pun
saya masih ingat ada Ibu-ibu mencari anaknya yang sedang ngenet di tempat saya
bekerja. Namun karena si anak bilangnya masih mengerjakan tugas makanya ibu itu
kembali pulang dan membiarkan anaknya terus mengerjakan tugas tersebut. Tapi...
beginilah akhirnya
Saya mengerjakan
tugas mereka dipandu dengan instruksi dari mereka. Ternyata tugasnya memang
cukup banyak sehingga memakan waktu yang cukup banyak juga. Maghrib sudah
lewat. Saya kira tugas selesai masih akan ada waktu untuk mengerjakan kewajiban
saya sebagai muslim. Selama mengerjakan tugas itu pikiran saya sendiri resah,
karenanya sebisa mungkin saya bekerja cepat supaya cepat selesai dan bisa
sholat. Anehnya kedua anak tersebut ternyata santai saja, tidak memperlihatkan
kalau mereka sedang terburu-buru karena waktu maghrib sudah mepet (padahal
kelihatannya anak baik-baik lho...). Sepuluh menit berlalu, baru setengah yang
selesai. Bukan karena banyaknya tapi karena kedua anak itu terlalu lama mikir,
kebanyakan ragu. Dan ketika sudah 70% tugas itu selesai ada seorang lelaki
paruh baya dengan kopiah hitam, baju kokoh putih dan memakai sarung.
"Sudah
selesai belum tugasnya?" tanya lelaki itu pada kedua anak SMP di sebelah
saya.
Jika dilihat
secara sekilas mungkin tidak ada yang aneh. Namun saya sendiri terus terang
merasa terkejut, pasalnya pertanyaan pertama dari lelaki berkopiah, berbaju kokoh
dan memakai sarung itu bukan apakah si anak sudah sholat maghrib?
Nah, dari
kesimpulan sekecil ini saja bisa menjurus pada pertanyaan lain yang mengarah
pada bapaknya si anak, mungkinkah bapak yang 'agamis' itu tidak mengajarkan
nilai-nilai islami pada anaknya? Seberapa pedulikah bapak itu -dan mungkin juga
seluruh anggota keluarganya- pada nilai-nilai/syariat-syariat islam (pada ceita
di atas, sholat)?
Pada akhirnya saya
pun jadi bertanya-tanya, seperti itukah anak-anak jaman sekarang? Hidup dalam
keluarga berkecukupan dengan orang tua yang mapan namun tidak terlalu
mempedulikan waktu untuk sholat -saya merasa sholat sebagai pembagi waktu saya
untuk bisa disiplin-.
Ini kenyataan.