“Menjamu Kopdar dengan
Cerpen dan Puisi”
Proses, betapa tidak bisa
dipungkirinya menjadi hal yang tak terelak pada sebuah hasil yang memuaskan,
dalam hal ini tulisan entah itu puisi, cerpen ataupun novel. Itulah hal yang
kami dapat setelah mengadakan Kopdar di sekitar Stadion Bima Cirebon. Kendati
hanya dihadiri 6 anggota grup PATP[1]
dan 2 orang luar, syukur sekali karena acara tersebut bisa berjalan dengan
lancar, formal namun lebih ke santai.
Beralaskan
tikar serta ditemani brownies dan biskuit hasil sumbangan sukarela dari anggota,
kami memulai sharing. Kebetulan Mba Linda Hartanti, senior dari kami saat itu
yang dua karyanya sudah dimuat dalam majalah Story dan Gadis langsung
menyodorkan kedua majalah tersebut di depan kami. Lantas antusiasme kami pun bangkit
untuk membahas proses kreatif dalam menulis cerpen sehingga nantinya dapat dimuat di
media. Mengenai penolakan yang tidak jelas sama sekali, info lomba, info
penerbit dan lain sebagainya.
Setengah jam
berlalu, kami terlalu asik dengan pembahasan kami sampai-sampai Ibu pemilik
warung menghampiri kami dan menanyakan minuman apa yang hendak dipesan. Ada
perasaan tidak enak di dada kami yang sempat melalaikannya padahal kami hanya numpang
tempat.
Minuman yang kami pesan datang setelah beberapa menit kemudian. Hawa panas siang itu
segera tersirami oleh tegukan demi tegukan. Brownies kembali dikunyah dan
perbicangan pun kembali dimulai. Kami membahas satu-persatu naskah dari
anggota. Ada cerpen “Lukisan Puisi Berdarah” yang ditulis oleh Neneng Alfiah,
seorang pegiat theater di kampus dan tempat tinggalnya. Cerpen ini ditulis 12
November 2012, dan pernah diikutkan dalam event harian grup PATP namun sayang
Sang Empu yang memagang event tersebut lupa. Dan akhirnya ada perseteruan kecil
untuk menggalih ingatan kembali kapan tepatnya event tersebut.
Karya
pertama yang kami bahas ini bukanlah karya yang cukup matang yang diakui
Penulisnya sendiri. Namun begitu, sebagaimana Penulis lainnya yang cenderung
malas untuk menilik kembali kekurangan-kekurangan dalam tulisannya, sang
Penulis nampak baru menyadari kesalahan-kesalahan tersebut ketika kami bahas
bersama. Kesalahan pertama ada pada pembuka cerpen yang kurang –untuk
menghindari mengatakan tidak- menarik. Pembuka cerpen yang merupakan ujung tombak
nampaknya luput dari kejelian Penulis.
Selanjutnya
adalah susunan paragraf, EYD dan ada beberapa kosa kata daerah dan terbawa
dalam cerpen tersebut namun kembali luput dari kejelian Penulis.
Karya
kedua masih dari penulis yang sama adalah sebuah Puisi “Kitab Penantian Sang
Perawan” yang pernah diikutkan dalam event pada sebuah grup kepenulisan di
facebook. Lagi-lagi Penulis begitu percaya akan diksi, rima dan kekuatan puisi
tersebut. Pertanyaan mengapa puisi ini tidak lolos, masih terbenam dalam benak
Penulis. Nahh, di sinilah nampaknya peran pengendapan karya begitu diperlukan.
Seperti kata Sang Ketua El Fietry Jamilatul Insan (nama facebook) bahwa kita
perlu mengendapkan karya kita supaya kita bisa menilai karya kita sendiri
secara objektif.
Cinta
adalah sebuah alasan untuk selalu kembali ke poros yang sama, meski sesuatu
yang menjanjikan kerap muncul dan menggoda untuk diraih.
Itulah
penggalan kalimat pertama dalam cerpen “Persiapan Untuk Pulang” karya Mia
Candra Sasmita. Sebuah pembukaan cerpen yang cukup menarik dan bisa mengikat
pembaca untuk terus mengikuti cerita di bawahnya. Pun dalam karya ini terdapat
beberapa kekurangan dalam segi EYD.
Sedikit
keunggulan dari cerpen yang menurut penuturan Penulisnya merupakan bagian pertama
dari sebuah novel adalah adanya beberapa kalimat padat seperti pembukaan di
atas. Dan satu kelemahan terdapat pada deskripsi kisah yang terlalu mendominasi
keseluruhan cerita. Mungkin perlu diingatkan bahwa deskripsi pada sebuah cerpen
ataupun puisi harus selalu seimbang dengan dialog atau lawan deskripsi tersebut
secara deskripsi terbagi beberapa macam –suasana, perasaan, cerita, tempat,
tokoh dll-. Penulisan deskripsi tersebut bisa dicontoh pada novel-novel karya
Afifah Affra seperti tetralogi De Winst, Rabithah Cinta dan Katastrofa Cinta.
“Cinta,
Arti &?” adalah judul karya ketiga, sebuah puisi karya saya sendiri. Ketika
pertama kali karya ini disodorkan, tiba-tiba ada pertanyaan yang terlontar dari
salah satu anggota…
“Memangnya
judul seperti ini boleh?” begitu tanya Mba Linda Hartanti.
Masih
seperti kata Mba El Fietry Jamilatul Insan bahwa puisi adalah kebebasan dalam
pengungkapan maka judul seperti puisi di atas tentu boleh. Bahkan ada
kemungkinan puisi hanya ditulis dengan memainkan atau menggunakan tanda baca
saja. Namun begitu nampaknya dalam karya ini pun ada satu kelemahan.
dari
yang akhirnya dia namakan cinta
ternyata
aku datang hanya dengan dua warna
hitam
dan kuning,
Perhatikan
kata yang bergaris bawah di atas, perlu penjelasan lebih lanjut mengenai kenapa
warna hitam dan kuning yang dipilih penulis, kenapa pula warna kuning untuk
melambangkan cinta. Di sini Penulis mengambil deskripsi perasaan cinta yang
dirasakan oleh tokoh utama dalam novel
TABULARASA karya Ratih Kumala, salah satu novel yang menjadi juara II pada
Sayembara Novel DKJ tahun 2003. Dan hal tersebut meskipun banyak yang
mengetahui namun lebih banyak yang tidak mengetahui. Saya jadi ingat dengan
pembahasan yang sering saya temukan dalam majalah Horison bahwa puisi memang
tidak terlepas dari latar belakang kehidupan penulisnya.
Meski
demikian puisi yang sedikit mendapat kritikan dari anggota ini, masih perlu
dibenahi, secara kelemahan di atas terdapat pada bait pertama. Dan kesalahan
dalam puisi meskipun itu satu namun fatal.
Good
Day Freeze dalam gelas anggota masing-masing sudah lebih dari setengahnya
tandas. Angin kencang beberapa kali menerpa dengan debu-debu dan rumput kering
yang mati kemudian tercerabut. Perbincangan di antara kami masih hangat.
Masing-masing anggota masih mengemukakan ide dan kritiknya. Sampai pada karya
terakhir yang kami bahas. Cerpen “Forbidden Love” karya Fitriyani[2]
merupakan cerpen bergenre fantasi romance. Menceritakan seorang Putri Neorita
yang hendak dilamar oleh Pangeran Zein yang tidak lama lagi akan memegang tampuk
pemerintahan. Tapi tunggu sebentar…melihat judul yang dipilih oleh Penulis dan
cerita yang disodorkan dalam cerpen tersebut sepertinya tidak cocok. Maaf saya
beru menyadari hal ini saat menulis ringkasan ini. Cerpen atau novel fantasi
bisa langsung terlihat atau terasa dari judul. Nahh, dari judul cerpen karya
terakhir yang kami bahas tersebut apakah sudah terasa fantasinya? Bukankah
lebih terasa ke arah tulisan yang bergenre romance?
Fitriyani
sepertinya harus lebih gigih lagi dalam membuat deskripsi karena hampir semua
deskipsi dalam cerpen tersebut terkesan monoton seperti membuat cerita anak
padahal yang dituju adalah semi dewasa. Penulis juga perlu menyiasati beberapa
teknik lainnya seperti teknik plot, flashback dan lainnya yang bisa membungkus cerita
menjadi menarik.
Ide
cerita yang sudah pernah ada bisa menjadi menarik ketika penulis menyiasatinya
dengan sudut pandang yang lain, flashback yang tepat atau penceritaan yang
pintar. Namun ide yang baru tidak akan nampak menonjol ketika dituliskan dengan
datar dan monoton.
“Memang
untuk sampai pada kemampuan itu butuh proses yang tidak sebentar,” begitu
kurang lebih penuturan Mba Linda Hartanti.
Itulah
akhir dari perbincangan kami. Gelas yang ada di atas meja sudah hampir semuanya
kosong. Mba Linda Hartanti yang kebetulan harus pulang lebih dulu tidak sempat
ikut berfoto bersama. Kami sangat menyayangkan hal itu. Waktu dzuhur masih ada,
kami semua beranjak ke masjid kampus IAIN Sunan Gunung Jati Cirebon. Diakhiri
dengan sholat dan doa. Alhamdulillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar